Hasrat Narsistik Caleg

Hasrat Narsistik Caleg

Mekanisme hasrat termanifestasikan pada keinginan-keinginan kita akan material dan non-material. Sebut saja handphone, mobil, rumah, kekuasaan, tokoh, artis, dan lainnya yang dikira dapat membawa keutuhan identitas subjek. Seperti yang dikatakan oleh Lacan bahwa hasrat tidak muncul dengan sendirinya. Hasrat ada karena ada hasrat orang lain. Hasrat ingin mendapatkan kekuasaan muncul karena di(salah)duga memberikan keutuhan bagi eksistensi diri. Kekuasaan yang menjadi penanda utama (master signifier) akan diikuti secara metonimia dengan penanda-penanda lainnya seperti ‘hebat’, ‘pintar’, ‘elegan’, ‘kaya’, ‘terpandang’, ‘terhormat’ dan lain sebagainya.

Penanda-penanda sebagai pembawa penanda utama identitas kekuasaan, seperti menjadi anggota DPR(D), Presiden, atau kekuasaan-kekuasaan penting lainnya ini akan memberikan kenyamanan sang Ego. Ketika sang Ego merasa nyaman, maka ia memberikan kepuasan pada diri, pada hasrat narsistik. Dalam Lacanian ada dua jenis hasrat manusia yang paling dominan dan paling sering direpresi: hasrat nasrsistik (menjadi) dan hasrat anaklitik (memiliki). Kedua hasrat ini saling berhubungan. Jika hasrat anaklitik merupakan hasrat ingin memiliki identitas, yang dapat memberikan rasa nyaman sementara, maka rasa nyaman itulah yang memberi kepuasan bagi hasrat narsistik. sekalipun kedua hasrat ini berada pada alam ketaksadaran bukan berarti ia bertahan selamana disitu, ia akan mencuat keluar ketika Ego Super tak mampu lagi membendung gejolak hasrat ini. Ia mencuat tanpa disadari di wilayah kesadaran.

Saat ini, segala sektor kehidupan kita telah dikapitalisasi dan dimaterialisasi, identitas-identitas primordial dan relijius yang diberikan oleh Ego Super yang kita bawa sejak kecil, melalui pemberian orang tua, pemuka agama, lingkungan, dan sekolah – seolah sudah tak mampu lagi memberikan “kenyamanan narsistik”. Orang akan dikenal, dikagumi, disenangi, dicintai apabila ia mengejawantahkan simbol-simbol kemewahan (properti), keelokan (tampan, macho, feminim), kecendikiaan (gelar-gelar), dan seterusnya. Tanpa simbol-simbol itu, kita mungkin tidak dianggap sebagai “orang”.

Kekuasaan di negeri ini dapat menjadi pintu masuknya karena dapat mengakses simbol-simbol tadi. Jika melihat bagaimana orang sukses membutuhkan proses yang panjang untuk menginternalisasi simbol-simbol tersebut, maka jalan pintasnya ada pada kursi kekuasaan. Kekuasaan tentu menjadi jalan masuk untuk jalan lain untuk mendapatkan simbol-simbol itu, yaitu korupsi. Jalan pintas ini tentu saja menjadi godaan di tengah persaingan yang semakin padat. Orang-orang berpacu dengan rela mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk mendapatkan tiket masuk kekuasaan in. Tiket masuk itu ada pada uang. Uang menjadi alat tukar bagi atribut-atribut yang mampu mentransfer simbol-simbol yang menjanjikan kenyamanan narsistik.

Hasrat ini akan berlangsung secara terus-menerus selagi simbol-simbol itu terus dipertahankan. Siapa yang mempertahankannya? Kapitalisme! Ia adalah fenomena lain yang harus dilihat sebagai penyebab munculnya hasrat-hasrat narsistik para caleg ini. Kapitalismelah yang mendorong orang untuk memaksimalkan profit dengan cara apapun. Termasuk keinginan untuk berkuasa.

               

*Penulis adalah peneliti pada Creol Institute, Research dan Cultural Relationship

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: