Syariah Ditentang, Musibah Datang
Jadi pendapat yang mengatakan banjir di Jakarta akibat maksiat Tahun Baru di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin dan Bundaran HI, berarti benar?. Jawabannya : Ya, itu salah satu bentuk kemaksiatan. Jika kita berbicara kemaksiatan, maka spektrumnya sangat luas. Semua bentuk pelanggaran terhadap syariah adalah kemaksiatan. Sementara cakupan syariah meliputi seluruh aspek kehidupan, baik dalam sistem pemerintahan, ekonomi, pergaulan pria-wanita, pendidikan, sistem sanksi, dan lain-lain.
Jadi yang namanya kemaksiatan bukan hanya korupsi, suap-menyuap, zina dan riba tetapi menetapkan hukum selain Allah adalah kemaksiatan. Tetapi pelanggaran terhadap semua ketetapan syariah itu merupakan kemaksiatan dan pelakunya berhak ditimpa musibah.
Dalam al-Maidah [5]: 49, setelah diperintahkan untuk memutuskan perkara di antara manusia dengan apa yang Allah SWT turunkan, tidak mengikuti hawa nafsu orang kafir, dan waspada terhadap tipu daya mereka yang memalingkan umat Islam dari sebagian apa yang diturunkan Allah SWT, kemudian ditegaskan: Fa in tawallaw fa’lam annamâ yurîdul-Lâh an yushîbahum bi ba’dhi dzunûbihim, (jika mereka berpaling dari hukum yang telah diturunkan Allah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka). Ayat ini tegas menyatakan bahwa musibah itu ditimpakan karena berpaling dari syariah.
Bertaubat dan Ikhtiar
Bencana atau musibah yang bertubi-tubi yang menimpa manusia di negeri ini tentu menuntut kita untuk segera bertaubat kepada Allah SWT. Seperti disebutkan dalam QS al-Rum [30]: 41 ditegaskan bahwa kerusakan yang terjadi akibat kemaksiatan yang dilakukan dimaksudkan agar manusia bertaubat: La’allahum yarji’ûn, agar mereka kembali. Artinya, la’alalhum yatûbûn, agar mereka bertaubat.
Dalam konteks Indonesia, kemaksiatan itu begitu kentara. Kemaksiatan kecil hingga kemaksiatan besar terjadi di mana-mana. Dan itu dilakukan oleh individu, kelompok, hingga negara. Bagaimana orang begitu santainya melanggar ketentuan Allah di tempat umum, membuka aurat, tidak shalat, aksi kriminal, berbohong,korupsi,berzina, memakan riba, dan sebagainya. Lebih dari itu begitu tenangnya para penguasa negeri ini melaksanakan hukum-hukum kufur di semua bidang, baik ekonomi, sosial, budaya,politik, pemerintahan, dsb tanpa takut sedikitpun kepada Allah SWT. Betapa bangganya orang-orang di parlemen menjadikan dirinya pembuat hukum—yang berarti menyaingi Allah SWT. Ini adalah kemaksiatan besar karena dampaknya kepada umat semuanya.
Oleh karena itu, kerusakan akibat kemaksiatan manusia harus dihentikan. Jalannya dengan taubatan nasuha yakni menyesalinya dan mohon ampunan; berhenti tidak lagi melakukannya; dan bertekad kuat tidak akan mengulanginya lagi di masa datang serta diiringi dengan melakukan perbaikan baik terkait dengan sesama atau terhadap kerusakan yang ditimbulkan.
Hal itu harus disertai usaha/ikhtiar secara manusiawi bagaimana mengatasi masalah musibah ini dengan bantuan para pakar dibidangnya masing-masing. Yang lebih penting adalah kembali kepada aturan ilahi dan meninggalkan segala jenis kekufuran dalam segala bidang.
Insya Allah jika taubatan nasuha dan ikhtiar sudah dilaksanakan, Allah akan menurunkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya di muka bumi ini.
(Penulis adalah Pemerhati Sosial Keagamaan. Domisili di Kuala Tungkal, Tanjab Barat.)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: