Inkonstitusional Audit BPKP
Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Hingar bingar pemberitaan media Jambi terkait kasus korupsi kwarda pramuka Jambi yang menjerat beberapa pejabat teras Jambi menyita perhatian publik. Bahkan perdebatan kasus a quo mengundang para intelektual kampus untuk bersuara mengeluarkan argumentasi terkhusus perihal audit kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dijadikan dasar bagi Kejati Jambi menetapkan kasus Kwarda Pramuka Jambi sebagai kasus korupsi. Beberapa ahli mengatakan BPKP inkonstitusional mengaudit kerugian keuangan negara, sedangkan penyidik mengatakan BPKP berwenang melakukan audit kerugian keuangan negara. Pertanyaannya benarkah BPKP inkonstitusional dalam mengaudit kerugian keuangan negara?
Kerugian Keuangan Negara
Sebelum masuk pada kewenangan BPKP, kita harus memahami terlebih dahulu perihal keuangan negara dan kerugian keuangan negara sebagai cikal bakal tindak pidana korupsi (Tipikor).
Keuangan negara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (UUKN) mendefinisikan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan umum Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Dari dua regulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa keuangan negara tidak semata-mata berbentuk uang, tetapi termasuk segala hak dan kewajiban (dalam bentuk apapun) yang dapat diukur dengan nilai uang. Pengertian keuangan negara juga mempunyai arti yang luas yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara sebagai suatu sistem keuangan negara.
Sedangkan kerugian keuangan negara atau daerah dalam Pasal 1 Butir 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo Pasal 1 Butir 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, mengatakan bahwa kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Melihat kasus kwarda pramuka Jambi tentunya kita harus melakukan audit apakah ada kerugian keuangan negara dalam kegiatan pengelolaan kebun yang dikerjasamakan dengan PT Inti Indosawit Subur (IIS) sejak 1994 oleh Kwarda pramuka tanpa mengantongi Hak Guna Usaha sebagai dasar legalitasnya. Kebun ini dikelola hanya berdasarkan SK Gubernur No 146 Tahun 1994 dan hasil perkebunan tersebut berkisar antara Rp 300-400 juta per bulan dimana kebun mulai dipanen sejak 1998, tetapi sebagian dananya diduga diselewengkan.
Disamping itu ada temuan dana rekening kwarda tersebar di beberapa Bank selain Bank Jambi yang jumlahnya miliaran rupian yaitu Bank Jambi Rp 1,581 miliar deposito Rp 300 juta, Bank Mandiri Rp 2 miliar, BTPN Rp 600 juta, Bank Muamalat Rp 2 miliar. Terungkap pula, rekening yang di Bank BTPN atas nama AM Firdaus-Sepdinal (Jambi ekpres 20/01/2014).
Siapa yang Berwenang?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: