Bintang Mira, Fashion Designer yang Gencar Promosikan Batik Bali

Bintang Mira, Fashion Designer yang Gencar Promosikan Batik Bali

DIBUTUHKAN dua jam perjalanan mobil dari Denpasar menuju Kecamatan Sidan, Gianyar. Meski tidak seramai Denpasar, Gianyar cukup sibuk. Banyak turis asing yang menikmati keramahtamahan penduduk dan eksotisme kehidupan tradisi di kota kecil itu.

Jalan kian mengecil saat mobil berbelok ke Jalan Legong Keraton. Kanan-kiri jalan didominasi pemandangan persawahan yang hijau. Nah, di antara sawah-sawah nan luas tersebut, berdirilah sebuah bangunan dua lantai yang artistik. Bangunan yang di depannya terpampang papan nama Balibatiku itulah ”pabrik” garmen batik Bali milik Bintang Mira.

Di situlah Bintang merealisasikan ide-idenya mengembangkan batik khas Pulau Dewata. Berbeda dengan batik Jawa pada umumnya, kain batik Bali identik dengan unsur-unsur budaya Bali, seperti tari kecak, barong, dan kain sarung bermotif kotak-kotak hitam putih.

Dua pekan lalu (25/3) Jawa Pos mampir ke butik Bintang itu. Dengan ramah perempuan cantik tersebut menyambut. ”Silakan masuk. Maaf kalau berantakan,” ujar Bintang.

Setelah berbasa-basi, dia lalu menjelaskan dengan terperinci usaha butik batik Balinya. Mulai proses pembuatan hingga pemasarannya yang go international. Untuk pembuatan gambar motif, pewarnaan, penghalusan, hingga pengeringan, Bintang menyediakan ruangan khusus di samping butiknya. Jalan menuju ruangan tersebut agak menurun dan melewati persawahan. Dan, begitu masuk di dalamnya, terlihatlah kesibukan para pegawai Bintang membuat batik yang tersohor hingga ke berbagai negara itu.

”Mereka semua penduduk asli sini. Saya sejak awal memang ingin batik Bali dibuat dan dikuasai penduduk Bali sendiri,” ungkapnya. 

Bintang merintis ”pabrik” batik Bali itu pada 1996. Perempuan asal Malang tersebut mengikuti suaminya, Pande Putu Gede Wiratama, untuk tinggal di Desa Sidan, Gianyar. Awalnya Bintang melihat kondisi usaha kain sarung Bali milik mertuanya yang mulai meredup. Bahkan nyaris bangkrut. ”Saya tak tega mengetahui satu lembar kain sarung mertua saya dihargai hanya Rp 2 ribu,” kenang perempuan 43 tahun itu.

Dari situlah tebersit di benak Bintang ide untuk berbuat sesuatu agar usaha mertuanya tidak gulung tikar. Setelah berpikir panjang, akhirnya diputuskanlah memberikan variasi corak pada kain tradisional Bali agar diminati konsumen. Selain itu agar bisa mengikuti tren fashion masyarakat modern. Berbekal ilmu desain dari desainer kondang Indonesia Adrianto Halim, Bintang mulai merevolusi kain sarung produksi mertuanya menjadi kain batik khas Bali. Yang paling mencolok adalah motif yang memadukan gambar tari kecak, barong, dan sarung kotak-kotak.

Selain itu, Bintang mengkreasikan kain tersebut dengan varian warna yang lebih banyak sehingga menarik mata konsumen. ”Kalau sebelumnya kain sarung selalu hitam putih, saya memberi variasi warna lain seperti biru, merah, dan hijau,” jelas alumnus Jurusan Pariwisata Universitas Merdeka Malang tersebut.

Bintang mengungkapkan, usaha untuk mengembangkan ide itu hanya bermodal tekad yang kuat. ”Waktu itu saya berpikir apa yang bisa saya berikan kepada Bali,” tuturnya.

Yang menarik, Bintang memulai usaha batiknya tersebut ”hanya” bermodal uang Rp 13 juta. Uang itu hasil jerih payahnya membantu memasarkan kain sarung produksi mertuanya. Awalnya uang dipakai untuk membuka usaha garmennya. Ternyata, desain-desain baju karya Bintang banyak diminati konsumen. Bukan hanya konsumen lokal, banyak juga turis asing yang kepincut dengan desain-desain Bintang. Bahkan, Bintang mulai merambah pasar internasional dengan mengikuti Hongkong Fashion Week pada 2006 dan 2009.

Sayang, keberhasilan tersebut belum memberikan kepuasan batin bagi diri Bintang. Dia merasa belum puas karena belum bisa menampilkan unsur tradisional Indonesia, terutama Bali, dalam ajang bergengsi bagi  fashion designer di dunia itu. Karena itulah, Bintang lalu berusaha keras mencari ide untuk mengangkat budaya Bali pada kain yang dipakainya dalam mendesain baju-baju karyanya.

Dari situlah tercetus ide untuk membuat batik Bali. Tidak perlu menunggu waktu lama, dia segera mewujudkan gagasan kreatifnya tersebut dalam karya. Tak diduga, respons konsumen amat positif. Maka, produksi batik Bali milik Bintang pun terus meningkat. Sedikit demi sedikit dia juga melibatkan warga di desanya, Sidan. Untuk mengasah ilmu batik warga, Bintang juga ”menyekolahkan” mereka ke Jogjakarta. Sayang, dari 15 orang yang dikirim ke Kota Gudeg itu, hanya tiga yang sukses menerapkan ilmunya. ”Usaha ini perlu kerja keras. Saya tidak mau putus asa hanya karena kondisi awal yang penuh rintangan itu,” tegas penghobi melukis tersebut.

Kerja kerasnya itu kini membuahkan hasil konkret. Batik Balinya makin moncer di mana-mana. Wisatawan yang berkunjung ke Gianyar umumnya tidak melewatkan waktu untuk mampir ke butiknya. Usaha Bintang pun terus berkembang. Hingga kini sedikitnya 40 warga Sidan menjadi pegawai tetapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: