Dipertautkan Kegemaran pada Sepak Bola
SELAMA 18 tahun tinggal di Mogi das Cruzes, Ipah Sumantri jarang mengikuti perkembangan tanah air. Kesibukan sehari-hari ibu dua anak tersebut membuat dirinya tidak selalu punya waktu untuk berselancar di internet untuk membaca situs berita atau menonton secara streaming TV Indonesia. Karena itu, istri Saleh Sumantri tersebut asal coblos ketika menerima kiriman surat suara Pemilu Legislatif 2014 dari Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Brasil yang berkedudukan di Brasilia.
\"Mau bagaimana lagi, wong tidak ada yang kenal (dengan para calon legislatif),\" kata Ipah. Dia kepada Jawa Pos juga bertanya tentang siapa saja yang akan mengikuti pemilu presiden.
Tapi, satu hal menyedihkan tentang Indonesia yang belakangan menancap benar di benak perempuan kelahiran Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah, itu adalah menurunnya tingkat toleransi beragama. Baik tentang pelarangan menggunakan tempat ibadah, penyerbuan terhadap warga yang berpaham berbeda, maupun vandalisme atas nama agama.
\"Dulu Indonesia kan nggak kayak gitu ya\" Di Mogi kami mah rukun-rukun saja, saling menghormati. Meski jumlah muslim di sini sedikit, kami tidak pernah mendapat gangguan dalam bentuk apa pun,\" kata Ipah.
Tentu tidak semua bagian dari Indonesia didera kericuhan bermotif agama. Sepanjang 18 tahun terakhir, Ipah dan keluarga juga hanya bermukim di Mogi das Cruzes dan jarang bepergian ke kota-kota lain di Brasil untuk bisa membuat perbandingan.
Tapi, Ipah bukan satu-satunya warga Indonesia yang menjadikan tingginya toleransi di Mogi das Cruzes sebagai salah satu alasan betah tinggal di kota yang masuk wilayah Negara Bagian Sao Paulo tersebut. Nyoman Suarta juga menemukan harmoni antarwarga di Mogi tidak ubahnya kampung halamannya di Tabanan, Bali. \"Cuaca nggak jauh berbeda dan kami tidak pernah mendapat kesulitan karena warna kulit, agama, atau dari mana kami berasal,\" kata Nyoman.
Tiga anak Nyoman hasil pernikahan dengan Wayan Julianti, sebagaimana halnya dua anak Saleh dan Ipah Sumantri, juga menjalani pendidikan di Mogi. \"Mereka diterima sepenuhnya di sekolah, tidak pernah mendapat kesulitan karena latar belakang yang berbeda,\" tutur Wayan.
Tingginya toleransi di Mogi itu juga sangat terlihat di antara sesama orang Indonesia. Ketika mengantar Jawa Pos mengunjungi Gereja Crista Injili, Saleh dengan kopiah haji dan janggut panjangnya bercengkerama hangat dan berbagi guyonan dengan jemaat gereja yang mayoritas berasal dari Indonesia atau keturunannya itu. \"Wah, janggutmu tambah panjang saja, Leh,\" kata Tseng Tseng, salah seorang jemaat gereja, sembari merangkul dan mengelus janggut Saleh. Saleh merespons dengan tertawa terbahak.
Hampir semua jemaat gereja itu mengenal Saleh dengan baik. Sebab, orang-orang Indonesia di Mogi dan Negara Bagian Sao Paulo memang rutin menjalin komunikasi dan bertemu sebulan sekali. Pertemuan terakhir berlangsung di kompleks masjid tempat Saleh sekeluarga tinggal.
Kopiah haji itu pula yang dikenakan Saleh saat mewakili Indonesia dalam festival antarbangsa yang setiap tahun dihelat di Mogi, bersama rekan-rekan sebangsa di kota tersebut yang berbeda suku dan agama. Penduduk Mogi yang mencapai lebih dari 387 ribu jiwa itu memang berasal dari berbagai bangsa. \"Nggak perlu bawa bendera, semua juga pada tahu bahwa kami dari Indonesia. Justru karena kami berbeda-beda, baik dari wajah maupun penampilan, itu yang menjadi ciri khas,\" tutur Saleh.
Karena komunitas Indonesia di Mogi terbesar se-Brasil, di kota tersebut pula perayaan kemerdekaan Indonesia kerap dihelat. Tahun lalu, misalnya, perayaan diadakan di perkebunan milik salah seorang warga Indonesia. Biasanya, acara utamanya juga upacara bendera, yang dilanjutkan dengan ramah tamah sembari menyantap hidangan yang ada. Ipah yang biasanya kebagian mempersiapkan sajian untuk hajatan tersebut.
\"Kalau digelar di Brasilia, banyak dari kami yang kesulitan datang karena jauh dan mahal. Tapi, kalau di sini, banyak yang berpartisipasi karena kebanyakan orang Indonesia di Brasil kan memang tinggal di Negara Bagian Sao Paulo,\" ujar Isaque Hattu yang pernah menjadi penerjemah bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri BUMN Dahlan Iskan saat keduanya berkunjung ke Brasil itu.
Diperkirakan, saat ini terdapat 400 orang Indonesia dan keturunannya yang bermukim di Mogi. Nah, tidak sedikit di antara mereka yang menggeluti profesi serupa; membuka usaha berupa toko elektronik dan bahan bangunan. Nyoman adalah salah seorang di antara mereka. \"Saya juga tidak tahu persis (mengapa banyak orang Indonesia punya usaha kayak kami). Kalau saya, ya karena ketika pertama sampai di sini kerjanya juga di toko seperti ini,\" ujar Nyoman.
Beberapa di antara mereka lantas dikenal sebagai pengusaha sukses di bidang tersebut. Misalnya, Kim To. Dia memiliki semacam supermarket bahan bangunan tiga lantai. Kim juga dikenal memiliki relasi dan jejaring bisnis yang luas. Tidak hanya di Mogi, namun juga Brasil.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: