>

Berkat Tandon Air Alami, Petani Panen Dua Kali

 Berkat Tandon Air Alami, Petani Panen Dua Kali

 Alkahfi Sutikno, Penggerak Program Kampung Iklim di Pedalaman Riau

 Bulan depan Indonesia menghadapi gelombang el nino yang memicu cuaca ekstrem. Tapi, bagi Alkahfi Sutikno bersama masyarakat di Desa Muktijaya, Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rokan Hilir, Riau, ancaman itu telah diantisipasi sejak dini. Alkahfi merupakan penggerak Program Kampung Iklim di desa tersebut.

 M. HILMI SETIAWAN, Jakarta

  ALAM dan perubahan iklim sulit dilawan. Begitulah fakta yang dipercaya Alkahfi Sutikno. Tapi, tidak berarti alam tidak bisa diajak berkawan sehingga perubahan iklim yang ekstrem tidak bisa diantisipasi. Alam dapat diajak bersahabat.

 \"Caranya, melakukan adaptasi dan mitigasi (pencegahan) terhadap gejala-gejala alam itu,\" kata Alkahfi saat menjadi pembicara seminar di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Jakarta, Selasa (22/4).

 Sejak 1994, Alkahfi membina 983 kepala keluarga atau 3.387 warga di Desa Muktijaya untuk menjalin persahabatan dengan alam melalui Program Kampung Iklim (ProKlim). Lokasi desa itu cukup jauh dari pusat Provinsi Riau, yakni sekitar 365 km.

 \"Awalnya tantangannya memang berat. Sebab, menyatukan begitu banyak masyarakat itu tidak mudah,\" ujar bapak dua anak tersebut.

 Alkahfi yang tinggal di kawasan eks transmigrasi dihadapkan pada kondisi lahan yang tidak bersahabat. Lokasinya di dataran tinggi sehingga suplai air tanah menjadi masalah. Padahal, kebanyakan warga Desa Muktijaya bermata pencaharian petani. Namun, lantaran minimnya suplai air, warga hanya bisa menanam padi sekali dalam setahun. Berbeda dengan petani di Jawa yang umumnya bisa bercocok tanam tiga kali setahun.

Intensitas menanam padi yang hanya sekali setahun itu hanya merupakan salah satu problem yang dihadapi Alkahfi dan warga desa tersebut. Masalah lain terkait dengan menyusutnya lahan persawahan karena abrasi Sungai Rokan setiap meluap.

 Alkahfi menyatakan, sebelum 1994, luas persawahan di desanya mencapai 1.134 hektare. Tapi, kini luas itu tinggal 500 hektare atau menyusut lebih dari separo lantaran tergerus air sungai. Melihat kenyataan tersebut, Alkahfi tidak ingin tinggal diam. Sebab, bila didiamkan, lama-kelamaan lahan persawahan di desa tersebut bisa habis. Karena itu, lalu muncullah gerakan adaptasi dan mitigasi iklim yang dipelopori Alkahfi.

 Gerakan tersebut mengajak warga desa untuk berdamai dengan alam. Misalnya, untuk pengairan sawah pada musim kemarau, Alkahfi membuat tandon air alami atau penampung air hujan (PAH). Di setiap rumah, warga wajib memiliki tandon air hujan. Rata-rata berkapasitas 1.000 liter per kepala keluarga. Air tadah hujan itulah yang dialirkan ke sawah-sawah bila musim kemarau tiba. Dengan cara begitu, petani bisa bercocok tanam lebih dari sekali dalam setahun.

 Kini di Desa Muktijaya ada 526 unit PAH di rumah-rumah warga. Ada pula 983 unit kolam untuk berjaga-jaga jika PAH penuh. Selain untuk air cadangan, kolam-kolam tersebut dimanfaatkan warga untuk budi daya ikan air tawar. Tidak hanya itu, warga membuat 431 unit kolam resapan untuk mengantisipasi banjir bila hujan lebat.

 \"Kami buatkan juga parit-parit menuju persawahan agar air mengalir dengan lancar,\" papar pria kelahiran Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, 14 Mei 1970, itu.

 Dengan adanya stok air untuk mengatasi kemarau berkepanjangan tersebut, produktivitas pertanian di desanya bisa meningkat tajam. Bila awalnya warga hanya bisa bertani sekali dalam setahun, kini meningkat jadi dua kali dalam setahun. Dari yang semula hanya menghasilkan 2,5 ton per hektare, sekarang naik menjadi 6\"7 ton per hektare.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: