>

Perjuangan Bawa Ibu Hamil Seberangi Laut

Perjuangan Bawa Ibu Hamil Seberangi Laut

Kisah Tujuh Dokter Muda Bertugas Melayani Masyarakat di

 Menjelang pelaksanaan Millenium Development Goals (MDGs) yang tinggal setahun lagi, tujuh dokter muda memilih bertugas di daerah-daerah terpencil. Pengalaman mereka melayani masyarakat di pelosok itu patut diapresiasi. Tak sedikit yang mengharukan.

 DODY BAYU PRASETYO, Jakarta

\"

TUJUH dokter muda tersebut adalah Gustin F. Muhayani yang bertugas di Mentawai, Sumatera Barat; Ardi Fredi (Karawang, Jawa Barat), Maria Nainggolan (Tosari, Pasuruan), Reastuty (Berau, Kalimantan Timur), Rahmi Hermades (Lindu, Sulawesi Tengah), Iim Karimah (Ogotua, Sulawesi Tengah), dan Sri Putri Nesia (Ende, Nusa Tenggara Timur). Mereka adalah alumni dari berbagai perguruan tinggi dan tergabung dalam kelompok Pencerah Nusantara angkatan II.

Pencerah Nusantara adalah sebuah gerakan sosial berbasis kesehatan dan kemitraan lintas sektor yang diinisiasi Kantor Utusan Khusus Presiden RI (KUKPRI) untuk MDGs. Gerakan ini menjadi salah satu terobosan dalam usaha mencapai target MDGs melalui kesehatan masyarakat sebagai daya ungkit strategisnya.

Di lokasi penugasan masing-masing, mereka tidak bekerja sendiri. Mereka dibantu empat hingga lima tenaga medis yang juga direkrut Pencerah Nusantara tahun lalu. Total ada 34 tenaga medis yang rata-rata baru lulus setahun-dua tahun dari perguruan tinggi. Tidak hanya dokter, di antara mereka juga terdapat bidan, perawat, dan pemerhati kesehatan.

Mereka bertugas di puskesmas atau rumah sakit setempat. Selain memberikan pelayanan medis kepada masyarakat, mereka melakukan sosialisasi dan penyuluhan soal kesehatan kepada warga.

Rabu lalu (23/4) mereka berkesempatan pulang ke Jakarta dan berbagi pengalaman selama enam bulan bertugas di kawasan-kawasan terpencil tersebut. Sekilas yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan dokter PTT (pegawai tidak tetap) yang juga bertugas di daerah terpencil di seluruh Indonesia. Namun, selain melibatkan profesi yang beragam, kebanyakan dari mereka pernah bekerja di rumah sakit atau perusahaan sebelum memutuskan terjun ke lokasi penugasan. Mereka juga dipersiapkan khusus untuk menghadapi MDGs di bidang kesehatan.

Konsekuensinya tidak sedikit. Di antara mereka sampai ada yang harus keluar dari pekerjaan tetapnya sebagai tenaga medis di rumah sakit atau perusahaan. Itu dilakukan hanya agar dapat mengabdi kepada masyarakat di daerah pelosok. Di samping itu, mereka mesti bergelut dengan susahnya mendapatkan pelayanan publik dan jaringan sinyal di daerah terpencil.

Ada juga yang menutup praktik dokter di rumahnya untuk mengikuti program blusukan ini. Seperti yang dilakukan Ardi Fredi. Dokter yang ditugaskan di Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tersebut rela mengundurkan diri sebagai dokter jaga di sebuah rumah sakit di Pontianak.

Bukan hanya itu. Dokter lulusan Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) Jakarta tersebut juga harus menutup tempat praktik dokter miliknya. \"Saya memang sering ditanya kenapa memilih susah di lokasi terpencil ketimbang pekerjaan yang sudah ada. Bagi saya ada hal yang tidak bisa didapat dengan materi, yaitu pengabdian kepada masyarakat di daerah terpencil,\" kata dokter umum asal Pontianak tersebut.

Memang, langkah Ardi relatif tidak mengalami \"hambatan\" dari keluarga. \"Kedua orang tua saya sudah meninggal, jadi saya bisa memutuskan sendiri. Memang masih ada adik, tapi dia mendukung yang saya ambil,\" ujarnya.

Ardi menceritakan, masyarakat di lokasi penempatannya di Karawang sangat kurang memperhatikan kesehatan air, seperti sanitasi. Kebanyakan warga di sekitar lokasi tempat tugasnya lebih suka buang air besar dan kecil di empang atau di kali yang kotor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: