>

Perjuangan Bawa Ibu Hamil Seberangi Laut

Perjuangan Bawa Ibu Hamil Seberangi Laut

\"Padahal, sudah dibuatkan fasilitas toilet, tapi nggak tahu kenapa warga lebih suka di empang,\" ucap dia.

Hingga setengah tahun masa tugasnya di sana, Ardi mengakui tidak mudah mengubah kebiasaan warga agar mau pindah mengunakan toilet di rumah atau WC umum untuk buang hajat. \"Saya pernah lewat di pipa saluran pembuangan. Di atas saya tiba-tiba ada itu (kotoran manusia) terbang,\" kenangnya.

Lain lagi kisah Gustin F. Muhayani yang ditugaskan di Dusun Sikakap Tengah, Kecamatan Sikakap, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Dokter umum jebolan Universitas Brawijaya, Malang, pada 2012 tersebut tidak pernah membayangkan akan ditempatkan di lokasi dengan medan yang sulit seperti di Sikakap.

Gustin juga memilih keluar dari salah satu rumah sakit swasta di Mataram, NTB, agar bisa mengikuti program Pencerah Nusantara ini. Selama bertugas di Puskesmas Desa Malakopa, Mentawai, dia pernah menangani kasus perempuan yang akan melahirkan dengan posisi janin sungsang. Karena itu, kelahiran bayi perlu penanganan dokter ahli dan rumah sakit yang memiliki peralatan medis yang memadai.

Dia mengatakan, satu-satunya rumah sakit terdekat dengan Desa Malakopa adalah RSUD Pulau Sipora, Mentawai. \"Untuk mencapai ke RSUD tersebut harus melewati laut selama sembilan jam dengan kapal kayu dan lautnya dalam kondisi tenang. Tapi, kalau pakai perahu motor mesin 80 PK, bisa 3 sampai 4 jam,\" terang dokter kelahiran Lombok, 16 Agustus 1988, tersebut.

Namun, Gustin dan rekan-rekannya tidak bisa serta-merta membawa wanita hamil itu ke RSUD karena harus mendapatkan persetujuan dokter di Puskesmas Desa Sikakap. Jauhnya 40 kilometer dari Malakopa, lebih dekat ke RSUD Sipora. \"Padahal, itu saya rasa tidak perlu. Tapi, kata bidan yang menangani saat itu, kalau mau ke RSUD, harus dapat persetujuan dari Puskesmas Sikakap. Akhirnya mau tidak mau ibu itu kami antar dulu ke Sikakap sebelum ke RSUD,\" keluhnya.

Sampai di Puskesmas Sikakap, problem berikutnya adalah tidak ada kapal motor yang bisa membawa mereka ke RSUD Pulau Sipora. \"Kami harus mencari dan melobi warga yang punya perahu motor agar bersedia membawa kami ke RSUD. Itu pun tidak mudah. Maklum, harga kapal itu sangat mahal, sekitar Rp 60 juta,\" tutur Gustin.

Di tengah kebingungan untuk menyelamatkan nyawa sang ibu dan bayinya tersebut, tiba-tiba seorang pastor gereja Katolik di Sikakap bersedia meminjamkan perahu motornya. \"Kami memanggilnya Romo Pei,\" ucap Gustin yang aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan semasa kuliah.

Perjuangan Gustin dan rekan-rekannya serta warga desa yang membantu mereka menyelamatkan ibu dan bayinya akhirnya berbuah manis. Ibu dan si bayi lahir dengan selamat dan sehat di RSUD Pulau Sipora. \"Bahkan, bayinya ternyata kembar dua. Itu baru kami ketahui saat si ibu diperiksa di Puskesmas Desa Sikakap,\" ujarnya riang.

Dokter muda itu mengatakan, kegigihannya melayani kesehatan masyarakat di daerah terpencil tersebut hanya bermodalkan niat dan semangat agar bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat. \"Bukan semata-mata ingin mengubah Indonesia menjadi lebih baik,\" tandas dia. (*/c2/ari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: