Hujan dan Salju, Pakai Vest-Jaket Empat Lapis

Setelah peloton lewat, kami menuruni bagian bawah Passo San Pellegrino. Menuju kota terdekat untuk makan siang (agak sore). Sekali lagi makan sup, pizza, dan pasta yang enak. Bersiap menaklukkan tanjakan ketiga yang seharusnya terberat hari itu: Passo Giau.
***
Perut sudah terisi. Waktunya berangkat ke tanjakan terakhir, lalu turun menuju hotel kami di Cortina d’Ampezzo. Sekitar 10 kilometer dari restoran, kami pun sampai di kaki tanjakan Passo Giau.
Panjang tanjakan yang masuk kategori terberat ini bergantung persepsi. Bisa dibilang 20 km, bisa dibilang 15 km. Tapi intinya, bagian terberat adalah 9,9 kilometer terakhir, yang rata-rata kemiringannya sampai 9,3 persen!
Paling sering konstan 8-10 persen, dengan bagian-bagian tertentu melonjak hingga 12, 14, bahkan 16 persen.
Yang seru, tanjakan ini punya banyak sekali switchback atau kelokan. Dan, masing-masing ditandai. Total ada 29 kelokan sebelum sampai ke finis.
Jumlah kelokan itu agak menipu. ‘’Di bawah ada tulisan bakal ada total 20 kelokan. Jadi, kami terus menghitung dan begitu senang ketika hampir 20, eh, ternyata ada 21, 22, 23, sampai 29’’ kata Prajna Murdaya.
Tanjakan ini begitu indah. Bunga warna-warni di bawah, dinding salju di atas. Pemandangan bebatuan raksasa ada di sekeliling. Karena ketinggian di atas 2.200 meter, sudah tidak ada pohon di atas. Rasanya kami seperti dalam film atau berada di luar planet.
Kami beruntung. Tidak hujan dan matahari bersinar. Walau suhu tidak jauh di atas 10 derajat Celsius sore itu. ‘’Kalian benar-benar beruntung, karena prediksi cuaca sore seharusnya hujan,’’ ucap James Heraty dari Rapha.
Tidak hanya berhenti berfoto, ada pula peserta yang berhenti ke titik-titik air mengalir. Bahkan ada yang mengambil airnya, lalu meminumnya, merasakan segarnya air asli pegunungan.
Kelompok depan akan sampai di atas duluan. Oleh Ben Lieberson, yang mengawal kelompok depan bersama Mattia Bettagno, kami diminta segera memakai lagi segala jaket dan turun ke bawah menuju hotel. ‘’Saya mengawasi awan di atas (mulai hitam, Red). Lebih cepat turun lebih baik,’’ tandasnya.
Mobil-mobil pengawal lain tersebar di sepanjang tanjakan, menyediakan supply atau bantuan bagi rombongan lain.
Walau seluruh kru Rapha sudah menyebar, tetap saja ada ‘’petualangan yang berbeda’’. Tonny Budianto Tanadi, misalnya, sempat salah mengambil tikungan di dasar tanjakan, sehingga sendirian mengambil tanjakan yang berbeda, bahkan sampai turun lagi ke desa di bawahnya.
Merasa jalurnya salah (karena tidak ada yang lain lewat), Tonny pun mencoba menelepon peserta-peserta lain. Yang nyambung hanya dengan fotografer Dipta Wahyu, yang kemudian berkoordinasi dengan James Heraty. Setelah memberikan lokasi koordinat yang tertera di Garmin-nya, Tonny tinggal menunggu evakuasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: