Sentimen Anti Asing Lemahkan Rupiah
JAKARTA - Tekanan terhadap rupiah belum mereda. Sepanjang awal pekan ini, nilai tukar rupiah sudah melemah 82 poin.Data Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis Bank Indonesia (BI) menunjukkan, rupiah kemarin (17/6) ditutup di level 11.863 per USD, melemah dibanding penutupan Senin yang di posisi 11.814 per USD. Bahkan, di pasar spot, kemarin rupiah sempat anjlok ke level 11.898 per USD. Padahal, akhir pekan lalu (13/6), rupiah masih ada di level 11.781 per USD.
Ekonom Senior yang juga Managing Director Standard Chartered Indonesia Fauzi Ichsan mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini terjadi karena beberapa faktor. Selain faktor fundamental, juga karena sentimen pelemahan nilai tukar mata uang regional. “Tapi, selain itu, ada pula tekanan akibat munculnya sentimen anti (investasi) asing,” ujarnya kemarin (17/6).
Menurut Fauzi, sentimen anti investasi asing itu dipicu oleh debat calon presiden antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo pada Minggu (15/6). Dia menyebut, ke dua calon presiden itu secara jelas menyatakan prioritas kebijakan ekonominya adalah mendorong tumbuhnya pelaku usaha dalam negeri. “[“Bagi investor (asing), itu tentu kurang menguntungkan,”“ katanya.
Sebagaimana diketahui, dalam debat calon presiden, Prabowo Subiantor berkali-kali menyebut kedaulatan ekonomi yang tidak tunduk pada kepentingan pihak luar. Sementara, Joko Widodo secara eksplisit menyebut strategi untuk mempersulit masuknya investor asing di sektor-sektor tertentu atau yang dikenal dengan istilah non tariff barrier. Meski strategi itu sudah jamak dilakukan negara-negara lain, namun tetap saja direspons negatif oleh investor.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, rilis data neraca perdagangan April 2014 yang mencatat defisit hingga USD 1,96 miliar memang cukup mengagetkan pasar di awal Juni ini. Defisit itu dipercaya akan berdampak pada melebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit), sehingga makin menekan rupiah. “Fokus BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk APBN Perubahan 2014, kita proyeksi di kisaran 11.600 - 11.800 (per USD),” ujarnya.
Menurut Agus, secara fundamental, setiap Triwulan II memang menjadi periode tahunan yang cukup berat. Selain potensi defisit neraca dagang akibat tren naiknya impor, pasokan valuta asing (valas) di pasar keuangan juga ketat karena banyak perusahaan yang membayar dividen kepada pemegang saham di luar negeri, serta banyaknya utang valas yang jatuh tempo. “Jadi, wajar kalau saat ini rupiah terdepresiasi,” katanya.
(Owi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: