>

PDIP Lebih Andalkan Lobi Politik

PDIP Lebih Andalkan Lobi Politik

JAKARTA - PDIP belum benar-benar surut untuk merebut kursi ketua DPR mendatang. Keputusan yang sudah diambil di Pansus Tata Tertib (Tatib) DPR terkait ketentuan turunan di UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dianggap bukan segalanya.

Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo menyatakan, selain UU MD3 masih diproses di Mahkamah Konstitusi, pihaknya telah menyiapkan serangkaian langkah antisipatif. Jika putusan MK (Mahkamah Konstitusi) ternyata tidak sesuai harapan, komunikasi politik bakal makin intens dilaksanakan dengan para pimpinan partai politik dan fraksi. “Pimpinan fraksi kami dalam 1-2 hari lagi akan lobi-lobi. Kita tunggu saja,” ujar Tjahjo Kumolo di kompleks parlemen, Jakarta, kemarin (4/9).

Dia menyatakan, komunikasi politik dengan para pimpinan partai dan fraksi tersebut sudah dimulai. Namun, baru penjajakan dan komunikasi awal. “Siapa tahu, dengan komunikasi intensif akan happy ending untuk membangun pemerintahan yang prorakyat,” tandas Tjahjo. 

Sebagaimana diketahui, Pansus Tatib DPR yang kini sedang terus berjalan telah menyepakati pasal 28. Pasal tersebut berisi pengaturan tentang pemilihan ketua DPR dengan sistem paket. Saat pengambilan keputusan saat itu, sejumlah anggota Fraksi PDIP yang ada di pansus terkesan tidak melakukan perlawanan. “Sekali lagi, apa yang diputuskan dalam pansus tatib belum final. Ingat, masih ada proses uji materi (di MK),” tandas Tjahjo.

Di tempat terpisah, Partai Golongan Karya yang ingin mendapatkan kursi ketua DPR menilai pesimistis bahwa MK bakal mengabulkan gugatan uji materi PDIP. Tantowi Yahya, juru bicara DPP Partai Golkar, mengatakan bahwa PDIP tidak memiliki kekuatan hukum karena merupakan salah satu fraksi yang membahas UU MD3 baru. “PDIP termasuk pembuat UU tersebut. Jadi, legal standing-nya bagaimana?” ujar Tantowi di gedung parlemen.

Menurut Tantowi, MK sebagai lembaga pengadil konstitusi selalu mempertimbangkan kedudukan hukum pemohon dalam setiap uji materi. Jika kedudukan hukum pemohon tidak memenuhi syarat, seluruh gugatan uji materi dianggap dikesampingkan dan ditolak. “Jadi, saya tidak optimistis itu bakal dikabulkan MK,” ujarnya.

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 mendesak DPR agar menunda pembahasan dan pengesahan tatib DPR. Aktivis koalisi Ronald Rofiandri menyatakan, adanya kekhawatiran fraksi di DPR tentang pembahasan tatib untuk menghindari potensi stagnasi periode awal keanggotaan DPR yang baru sesungguhnya tidak beralasan kuat.

“Akan lebih tepat dan relevan pihak yang sepantasnya menyusun dan mengesahkan tatib adalah anggota DPR periode 2014”2019,” ujarnya.

 Ronald menyatakan, pengalaman menunjukkan bahwa Fraksi Partai Gerindra dan Hanura di DPR periode 2009”2014 tidak memiliki perwakilan anggota di badan kehormatan. Itu patut dijadikan pelajaran dan pertimbangan tersendiri. Dua fraksi pendatang baru tersebut tidak bisa terlibat dalam pembahasan tatib dan tidak memiliki hak menjadi salah satu pimpinan atau anggota BK.

Akibatnya, dua fraksi tersebut merasa tidak terikat dengan segala keputusan badan kehormatan. Situasi serupa (dalam bentuk akibat yang berbeda) bisa saja terjadi dan menimpa Fraksi Nasdem,” ujarnya.

Ronald menilai, sikap ngotot DPR untuk tetap menyusun tatib yang baru patut dipertanyakan, terutama saat”banyak pihak mengajukan judicial review UU 17/2014 ke MK.”Jika para pihak yang mengusulkan perubahan tatib berdalih demi menghindari stagnasi pada periode awal keanggotaan DPR yang baru, akan lebih fair jika mereka menargetkan penyusunan rancangan tatib saja, tanpa diikuti dengan tahap pengesahan.

“Dengan demikian, anggota DPR setelah dilantik dapat memiliki bekal awal berupa rancangan tatib, untuk kemudian ditinjau ulang (review) dan disahkan melalui peraturan DPR. Dengan kata lain, seluruh fraksi berkesempatan untuk menentukan aturan main bagi keberlangsungan kerja selama satu periode keanggotaan,” ujarnya.

(dyn/bay/c10/fat)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: