>

Pilkada Tak Langsung Rampok Hak Rakyat

Pilkada Tak Langsung Rampok Hak Rakyat

                Bambang menyebut, mayoritas pilkada lebih banyak berlanjut dari proses politik ke gugatan di Mahkamah Konstitusi. Proses sengketa hasil ini juga tidak mudah, karena pergolakan di daerah yang menggelar pilkada terkadang muncul antar kubu pasangan calon. \"Tahap gugat menggugat ini, di beberapa daerah kerap diwarnai kekerasan,\" ujarnya.

                Masalah sosial itu juga ditambah dengan problem pemborosan anggaran. Biaya yang dikeluarkan setiap pasangan calon dalam pilkada langsung cenderung tanpa batas. Siapapun pihak yang menang ataupun kalah sama-sama mengeluarkan dana yang besar demi mengejar ambisi.

                \"Biasa besar yang harus dikeluarkan para kandidat ujung-ujungnya mendorong siapapun pemenangnya melakukan praktik korupsi agar modal kampanye kembali,\" ujar Bambang.

                Bambang menyatakan, dengan pilkada oleh DPRD, maka bupati/walikota/gubernur bisa kerja sepanjang 5 tahun. Sementara pengalaman sejumlah Pilkada langsung menunjukkan, tahun ketiga sudah disibukkan dengan kampanye. Proses promosi dan mutasi pejabat selalu dikaitkan dengan  dukungan Pilkada.

                \"Good government tak pernah bisa tercapai karena di tiap pilkada langsung para pejabat/PNS akan terbelah menjadi tim Sukses masing-masing kandikat, baik incumbent maupun penantang baru,\" tandasnya.

                Terpisah, Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai, ada ketakutan tersendiri yang dialami partai pendukung opsi pemilihan oleh DPRD. Ketakutan pertama adalah kedekatan parpol dengan pemilih.

                Pilkada langsung adalah kesempatan besar partai ditingkat lokal untuk saling mendekatkan dalam berkomunikasi politik dengan pemilih. Masa kampanye dalam ?Pilkada adalah masa penting bagaimana partai politik membuktikan diri kedekatannya dengan pemilih. \"Dengan mengembalikan Pilkada ke DPRD, partai takut akan sikap kritis pemilih yang cerdas dalam menentukan pilihan politiknya,\" ujarnya.

                Selain itu, parpol nampaknya takut untuk dievaluasi oleh publik. Pada level eksekutif, adalah hak pemilih untuk memberikan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan. Bila pemilih menilai selama kepemimpinannya partai daerah dipandang buruk, maka hak bagi pemilih untuk tidak lagi memilih calon dari partai tersebut. \"Kalau pilkada dipilih DPRD, berarti partai takut akan adanya evaluasi publik atas kinerja pemerintahannya,\" ujarnya.

                Parpol yang mendukung pemilihan DPRD, nampaknya juga enggan menjadi partai terbuka. Dalam Pilkada langsung, aspek keterbukaan dari partai menjadi salah satu kunci kemenangan. Semakin partai membuka diri terhadap proses pencalonan yang menyerap aspirasi maka semakin membuka peluang menang. \"Bila Pilkada kembali ke DPRD, maka ketakutan terhadap apa yang terjadi di internal partai politik yang sesungguhnya adalah lembaga publik,\" ujarnya.

                Hal yang tidak kalah penting, partai politik takut dipantau. Dalam proses Pilkada langsung, elemen organisasi masyarakat sipil mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kualitas demokrasi ditingkat lokal. Kontrak-kontrak politik yang dibangun antara pemilih dengan calon yang didukung partai adalah bagian penting untuk membangun akuntabilitas pemerintahan.

                \"Kalau pilkada dipilih DPRD, maka partai politik ketakutan terhadap pemantauan kinerja pemerintahan dari elemen masyarakat sipil tersebut,\" ujarnya.

(dyn/bay/sam/jpnn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: