Kawin HAM VS Cerai Hak Azasi Tuhan
Barangkali pilihan terbaik adalah hidup berpasangan tanpa nilai agama dengan tidak mempunyai keturunan dan buanglah sejauh-jauhnya istilah Tuhan dan dosa. Dalam Universal Declartion of Human Rights 1948 itu tidak ada konsep Tuhan dan Dosa. Namun jika mempunyai keturunan hampir dapat dipastikan akan menghadapi persoalan pilihan agama anak.
Istilah dosa berkaitan erat dengan kematian. Karena itu pilihan ini seharusnya juga mengabaikan istilah kematian, atau keyakinan bahwa roh yang berpindah dari jasatnya akan berhadapan dengan Tuhan yang akan meminta pertanggungan jawaban hidup di dunia ini. Karena itu pula, maka Tuhan juga tidak perlu lagi ada dalam pemikirannya.
Pilihan lain, pastikan sepenuhnya bahwa dirinya tidak begitu yakin dengan agama yang dianut dan akan siap berpindah agama tanpa peduli orang tua dan anak-anak anda. Jika suatu hari pasangannya berhasil meyakinkan dan membujuk salah satunya, ini sudah disadari sebelumnya. Mungkin masing-masing perlu membuat pernyataan di atas kertas, sehingga masing-masing punya pegangan.
Seharusnya sudah disiapkan pula berjanjian bahwa anak yang lahir dari kedua meraka nanti akan memeluk agama apa. Namun begitu kedua pasangan ini membuat pernyataan itu, maka sesungguhnya sudah melanggar HAM calon anaknya. Dengan pilihan ini pula berarti, ada anggapan bahwa anak keturunannya tidak akan lebih cerdas dari ayah dan ibunya.
Kemungkinan pilihan lain adalah pindah ke negara lain yang tidak mempunyai kolom agama pada formulir identitas kewarganegaraan. Kesadaran agama juga tidak ada lagi dalam masyarakatnya. Tetapi ingat mendaftarkan ikatan perkawinan tetap saja diwajibkan di negara manapun di dunia ini.
Pilihan terakhir dan mungkin lebih arif, jika sekiranya anda tidak memenuhi alternatif di atas, maka sebaiknya anda tidak bergaul dengan penganut agama lain, apabila anda tidak mampu menahan diri ketika dirayu oleh lawan jenis baik atas dasar nafsu, kecantikan/kegagahan, jabatan dan kekayaan materi lainnya.
Dengan logika ini sesungguhnya persoalan penting dalam KBA bukanlah persoalan hukum, tetapi lebih banyak pada persoalan kekeluargaan dan sosial. Bisa saja sebuah fatwa agama melarang tetapi argumen sosialnya menyatakan boleh atau mungkin, maka itulah yang dilakukan oleh masyarakat. Demikian pula sebaliknya, boleh saja sebuah fatwa agama membolehkan/menghalalkan, tetapi argumen sosial melarangnya, maka keputusan itulah yang mungkin lebih baik diambil oleh seseorang.
(Penulis adalah Direktur Eksekutif CSCIIS Jambi dan Ketua Forum Dekan Fakultas Ushuluddin se Indonesia. Tulisan ini pendapat pribadi.)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: