Perdebatan Hangat Malah saat Menyensor Film Religi
Melihat Lembaga Sensor Film (LSF), Tempat Pertama Film Diedit
Yang suka nonton film di bioskop atau televisi pasti sudah tidak asing lagi dengan tulisan seperti papan peringatan \"Telah Lulus Sensor\" yang muncul di setiap awal film. Tapi, tidak banyak yang tahu bagaimana cerita di balik munculnya tulisan yang merupakan lisensi yang dikeluarkan Lembaga Sensor Film (LSF) tersebut.
DODY BAYU PRASETYO, Jakarta
Meski hanya muncul beberapa detik di layar, tulisan Telah Lulus Sensor adalah tiket untuk sebuah film baik sekelas Hollywood maupun FTV agar bisa tayang. Tulisan lisensi itu biasanya sudah lengkap dengan sederet angka dan tanda tangan Ketua LSF Mukhlis PaEni. Tulisan besar dengan kombinasi warna yang mencolok itu biasanya kurang diperhatikan penikmat film. Terlebih mereka yang nonton di XXI atau IMAX.
Namun, tanpa cap lolos sensor, film sebagus apa pun tidak akan pernah dapat beredar dan ditonton di bioskop atau rumah. Sebab, di Indonesia semua film dari dalam dan luar negeri yang siap tonton harus melalui penyensoran di LSF. Selain itu, setiap film sudah harus bersih dari konten pornografi, kekerasan, serta pertentangan suku, ras, kelompok, dan agama sebelum ditonton masyarakat.
Tidak jarang lembaga di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut menolak seluruh isi satu film karena dianggap mencemarkan nama baik salah satu agama atau berpotensi merusak tatanan hidup masyarakat. Karena itu, LSF yang berada di Jalan M.T. Haryono Kavling 47\"48, Jakarta Selatan (Jaksel), tersebut menjadi salah satu lembaga penting karena menyaring isi film untuk membangun moral masyarakat.
Bahkan, saking pentingnya, para petugas yang terlibat dalam penyensoran film itu sudah diwanti-wanti untuk berhati-hati dalam menjalankan tugas. Hal tersebut, misalnya, dikatakan Sudiono, salah seorang operator studio penyensoran film di gedung LSF lantai 8.
Sudiono sudah sekitar 25 tahun mengabdi di LSF. Sebelum ditugasi sebagai operator, dia pernah bergabung dalam tim penyensoran film. Dalam mengemban tugas baik sebagai tim penyensoran maupun operator, Sudiono memelototi ribuan film yang dimohonkan untuk dilakukan sensor sebelum ditayangkan di bioskop atau televisi.
Sebagai penyensor, tugas utama Sudiono adalah menonton film asli sebelum ditonton jutaan pemirsa di Indonesia. Banyak film yang belum diedit yang sangat vulgar, sadis, atau menakutkan. Karena itu, jika tidak disensor (dipotong), film tersebut bisa memengaruhi penonton. Terlebih film dari luar negeri. Yakni, Hollywood, India (Bollywood), dan film Asia lainnya.
Film-film yang dia garap mulai film bertaraf box office, berformat imax (image maximum), hingga film picisan yang dibuat asal oleh sutradara alias yang penting sang artis tenar. \"Sampai-sampai saya nggak pernah nonton ke bioskop, nonton film di televisi pun jarang, soalnya sudah enek. Paling saya nonton berita atau siaran yang live,\" kata Sudiono saat dijumpai Jawa Pos di salah satu studio penyensoran film di gedung LSF Kamis (18/9).
Gedung LSF di lantai 8 memiliki empat studio penyensoran film. Setiap studio berukuran sama, yakni sekitar 6 x 4 meter. Di dalamnya terdapat sejumlah perlengkapan sensor film, antara lain, dua layar televisi layar datar ukuran 60 inci.
Lalu, di antara dua televisi tersebut ada layar dari kain putih yang dibentangkan mirip layar bioskop, tapi jauh lebih kecil. Ukurannya sekitar 3 x 1 meter. Di bawah layar bioskop mini tersebut ada penunjuk waktu digital yang menampilkan jam, menit, dan detik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: