Lampu Sorot Panggung Menteri
Reka Daya Para Pembantu Presiden Mewujudkan Visi Pemerintahan
Di hari-hari pertama aktivitas para menteri Kabinet Kerja, terlihat sejumlah sosok yang langsung menempatkan diri dalam lampu sorot panggung pemerintahan. Untuk meraih start yang mulus, kabinet ini memang butuh para pembantu presiden yang trengginas dan banyak akal. Yang terpenting lagi, segera tunjukkan hasil kerja nyata agar terhindar dari jebakan politik polesan.
JIKA Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki beban berat karena harapan yang amat besar dari rakyat, pun demikian yang dialami para menteri dalam Kabinet Kerja. Para menteri tidak hanya dituntut untuk bekerja lebih keras dalam tataran teknis, namun juga mengimbangi setiap tindak tanduk presidennya.
Jika Jokowi rajin menyerap aspirasi masyarakat dengan blusukan, akan sangat memalukan jika para menteri hanya menerima laporan di atas kertas dari bawahannya. Para menteri pun akhirnya langsung tancap gas dan berusaha membuat program terobosan. Bumbu aksi di luar pakem juga menjadi warna yang, namanya juga bumbu, akan asyik jika takarannya pas dan bikin eneg apabila terlalu berlebihan.
Sepak terjang tujuh menteri yang disajikan dalam laporan ini bukan berarti kinerja mereka akan lebih bagus dan bakal mencapai finis terbaik dibandingkan menteri-menteri lain. Sebab, selain masih cukup dini, masih banyak tantangan yang mesti dihadapi. Misalnya, kelihaian dalam bermitra dengan parlemen. Juga, kemampuan merencanakan, menyusun, dan mengeksekusi anggaran dengan baik. Meski demikian, diharapkan para menteri ini bisa konsisten dalam mewujudkan visi pemerintahan.
Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri misalnya. Sehari setelah dilantik langsung blusukan ke Bandara Soekarno-Hatta. Di lounge TKI Terminal 2D, Hanif berbincang-bincang dengan sejumlah tenaga kerja Indonesia yang baru saja pulang ke tanah air. Dia ingin memastikan di bahwa para TKI tersebut tidak mendapat perlakuan atau sejumlah pemerasan seperti yang santer diberitakan.
Aksi koboi Hanif dilakukan saat melakukan sidak ke sebuah penampungan TKI ilegal di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Dalam kesempatan itu, Hanif terlihat mengamuk pada sejumlah pegawai Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) Elkari Makmur Sentosa karena tidak mau membukakan pagar.
Kesal karena tak juga digubris, mantan anggota komisi IX DPR RI 2009-2014 ini pun akhirnya mengambil inisiatif untuk melompati pagar setinggi kurang lebih 1,5 meter itu. Usai berhasil masuk, Hanif sendiri terlihat tidak begitu kaget dengan kondisi penampungan yang cukup buruk. Yakni dengan menempatkan hampir 50 calon TKI dalam satu kamar dengan satu kamar mandi.
Ternyata, sebelum menjadi menteri, Hanif sudah pernah masuk dalam penampungan TKI ilegal. Pengalaman itu terjadi tahun 2006 lalu, saat dia membebaskan saudaranya yang disekap di salah satu penampungan TKI. Dia mengaku ide sidak ini pun muncul dari pengalamannya tersebut.
Sadar akan sorotan masyarakat atas aksi koboinya tersebut, Hanif mengaku tidak mempermasalahkan apa pandangan mereka. Pria kelahiran Brebes 53 tahun lalu itu mengatakan bahwa dirinya hanya menjalankan apa kewajibannya.
\"Saya rasa yang perlu diperhatikan bukan caranya tapi apa hasilnya dan tindak lanjutnya,\" ungkap Hanif saat ditemui di Jakarta, kemarin (8/11).
Lain lagi dengan Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno. Sehari setelah dilantik, ia langsung memaparkan sejumlah gebrakan yang akan dilakukannya. Salah satu gebrakan yang cukup menarik perhatian adalah instruksinya pada para diplomat untuk blusukan. Blusukan yang dimaksud adalah\" Retno berharap para diplomat, khususnya Duta Besar untuk melakukan diplomasi ekonomi, untuk mempromosikan Indonesia di luar negeri
\"Namanya diplomat pejuang, kita sudah biasa blusukan. Itu yang dimaksud misalnya dengan bertemu otoritas atau pembuat kebijakan perdagangan setempat. Paling kalau untuk menjalin silaturahmi kita ngopi,\" kata Menlu Retno dalam pidato perdananya di Kantor Kemenlu, Rabu (29/10) lalu.
Menurut Mantan Dubes RI untuk Belanda itu, blusukan para diplomat memiliki karakteristik yang berbeda dan justru lebih murah biayanya. Karena itu, dia merasa belum perlu meminta tambahan anggaran untuk mendukung program blusukan diplomat tersebut. \"Contohnya, kalau mengajak ngopi, di Belanda itu cuma 2 Euro, tapi di dalamnya sekaligus kita membuat networking, dan memang dalam banyak hal kita ketemu mereka di kantor,\" kata Retno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: