Mengkonstruksi Revolusi Mental Dalam Pendidikan

Mengkonstruksi Revolusi Mental Dalam Pendidikan

Oleh: Amri Ikhsan

Catatan ini merupakan review terhadap tulisan Presiden Joko Widodo tentang Revolusi Mental yang dimuat dalam media nasional yang disesuaikan dengan masalah pendidikan dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional dan HUT PGRI yang ke 69, tanggal 25 November .

Pendidikan Indonesia saat ini menghadapi suatu paradoks yang menuntut respon dan keteladanan dari para pemimpin bangsa. Ada UN yang menakutkan, Kurikulum 2013 yang “setengah matang”, gengster pelajar yang menyeramkan, bullying pelajar yang sadis, kekerasan siswa yang brutal.

Sebenarnya, Indonesia  merupakan bangsa yang berkarakter santun, sopan, toleransi, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Dan tugas stakeholder pendidikan, khususnya guru mengembalikan karakter tersebut ke apa yang menjadi keaslian, orisinalitas, identitas bangsa Indonesia. Diyakini, dengan komitmen semua pihak disertai kesadaran seluruh warga negara, karakter ini menjadi jati diri kita.

Disadari, reformasi pendidikan yang dilaksanakan  baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya pendidikan kita dalam rangka pembangunan pendidikan (education building). Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, revolusi mental mesti dilakukan.

Education building tidak mungkin akan efektif kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia yang belum mampuni tidak akan membawa kebaikan.

Sudah banyak UU, PP, Permendiknas, PMA, Permen PAN dan RB, perdirjen yang dihasilkan. Telah dibentuk sejumlah badan, komisi, badan, lembaga mengurus pendidikan. Otonomi daerah telah dilaksanakan. Telah diselenggarakan diklat, workshop, seminar untuk guru. Ada begitu banyak beasiswa dan banuan pendidikan. Ada dana BOS, BSM, DOS, dana CSR, dll. Kesemuanya ditujukan dalam rangka perbaikan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan akuntabel.

Namun, sejumlah tradisi atau budaya yang tidak mendidik, mulai dari korupsi, kolusi, etos kerja rendah, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung. Dan ini adalah hasil dari proses pendidikan kita.  

Jelas reformasi, yang hanya menghasilkan banyak aturan belum cukup untuk menciptakan pendidikan Indonesia yang berkualitas. Belum tentu apa yang dirumuskan di Jakarta bisa dicerna dengan baik oleh orang orang daerah ditambah lagi dengan sosialisasi aturan itu tidak komprehensif. Disini diperlu sinergitas yang berkelanjutan inter dan intra elemen bangsa. Diperlu “pelayan” yang betul betul memahami satu persoalan bukan orang orang tahu semua masalah tetapi sedilit.

Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya pendidikan, dan pendekatan education building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan. (Jokowi)

Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menghasilkan ketahanan pendidikan (Ganjar Pranowo), Indonesia yang berdaulat dalam bidang pendidikan, dan Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya, pendidikan yang mengkadi potesni yang dimiliki Indonesia dengan sebuah sistem pendidikan yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi yang bisa dirasakan oleh seluruh anak bangsa. Dan didukung oleh birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan pendidikan dan mendukung pekerjaan guru untuk membentuk karakter siswa. Disini, birokrat sebagai pelayan, bukan minta dilayani, birokrat yang tahu betuk kondisi lapangan, melihat dengan “mata kepala sendiri, bukan hanya menerima laporan dari bawahan.

Revolusi mental sesungguhnya adalah sebuah gerakan ke dalam, yaitu perbaikan sikap diri sebagai individu, dan perbaikan evaluasi diri sistem yang sudah rusak karena korup, tidak adil, dan malah bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. (Koesoema, 2014).

Mestinya, revolusi mental menfokus pada pembangunan manusia melalui pendidikan. Sedangkan guru adalah aktor utama terwujudnya masyarakat terdidik. Sejarah dunia juga telah membuktikan bahwa guru merupakan pondasi bagi pembangunan bangsa. Jika guru solid maka bangsa kita akan semakin maju dan bersatu. Sehingga pembangunan karakter dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Itu kata pakar pendidikan. Seorang guru bukan hanya menjalankan proses pembelajaran semata, melainkan mampu membangun pola pikir sekaligus karakter positif siswanya, percuma mengajar tanpa bisa membuat siswa belajar. Siswa hanya bisa menjadi “follower”..

Anak-anak tidak membutuhkan kurikulum, tetapi kehidupan yang benar-benar mampu menghidupi mereka. Mereka belajar dari kehidupan nyata. Mereka hanya ingin ilmu yang bisa mencerahkan masa depan mereka. Mereka mengidamkan keahlian yang membuat mereka bisa berkompetensi untuk berpartisipasi membangun bangsa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: