Kemiskinan : antara Angka, Citra, dan Manusia
imune terhadap goncangan ekonomi alias sangat labil (fragile).
Dengan garis batas ini, maka BPS mengumumkan jumlah penduduk miskin per maret 2014 adalah 28,28 juta jiwa dari total penduduk alias 11,25%. Angka ini diklaim membaik dibanding tahun 2009, awal rezim SBY jilid dua, pada periode yang sama yakni 32,53 juta jiwa atau 14,1%. Bank Pembangunan Asia (ADB Key Indicator) pernah memberikan gambaran bahwa jika garis kimiskinan ditarik dari angka 1,25 USD per orang per hari, maka sekitar 30% lebih atau kisaran 60 jutaan lebih rakyat Indonesia akan terkategorikan miskin. Dan jika kita tingkatkan menjadi 1,5 USD per hari per orang atau sekitar Rp. 18.150 (dengan asumsi kurs Rp. 12.100 per 1 USD), sebagaimana yang dijanjikan Menteri Sosial yang baru, maka sekitar 40% atau 100 jutaan rakyat Indonesia akan terkapar dibawah garis kemiskinan. Apalagi jika kita cobakan standar garis kemiskinan yang diterapkan oleh Bank Dunia, yakni sebesar 2 USD perhari per orang, maka akan lebih dari 50% rakyat Indonesia yang mendadak miskin secara statistik.
Disinilah letak ambiguitas pemerintah terhadap realitas kemiskinan. Sebagaimana rezim-rezim Asia Tenggara lainya, penguasa lebih senang memperlakukan masyarakat miskin sebagai komoditas politik untuk meraih rangking pencitraan yang super bagus ketimbang benar-benar mengentaskannya dengan spirit keberpihakan yang tulus (
Kwon, 2005, Aspalter, 2006, dan JY.Ong, 2011). Pemerintah lebih senang berprilaku sebagai pahlawan kesiangan yang membagi-bagikan sisa uang negara ketimbang menginisiasi pemberdayaan untuk menciptakan kesempatan yang lebih baik pada rakyat miskin. Hal ini sudah tak perlu diperdebatkan secara panjang lebar lagi, lihat saja rezim baru yang baru beberapa hari menduduki istana, belum apa-apa sudah melemparkan berbagai stimulasi teknis yang terkesan sangat heroic, yakni aneka rupa kartu sakti, padahal disisi lain pemerintah meminta rakyat berkorban Rp. 2000 atas kenaikan BBM dan segala ekses dominonya yang sangat melukai rasa keadilan publik.
Apa yang lucu? Yang lucu adalah ternyata pemerintah dari dulu sampai sekarang cuma memperlakukan rakyat miskin sebagai deret angka yang bisa diutak-atik sesuai kebutuhan. Deret angka ini dianggap bisa pula ditimpali dengan angka nominal rupiah yang memperburuk harga diri rakyat miskin, seolah-seolah ada nuansa menggemis dari pihak rakyat pada penguasa. Habis itu, urusan dianggap beres. Padahal kalau pemerintah mau jujur mengakui, sebagaimana sering kali diingatkan oleh Amartya Zen sedari dulu, memperlakukan rakyat sebagai deret angka cuma akan memperburuk kondisi kemiskinan itu sendiri, karena dibalik angka ada manusia-manusia yang memiliki harga diri (dignity) dan mempunyai hak bebas untuk mendapatkan kemakmuran dengan penguatan-penguatan kapasitas social ekonominya. Sehingga, kemiskinan harus didekati secara komprehensif, baik dari sisi pendataan yang benar-benar harus merepresentasikan realitas kemiskinan itu sendiri, maupun dari sisi kemanusiaan yang utuh alias memperlakukan semua penduduk miskin dalam perspektif kemanusiaan yang utuh.
Point terakhir saya, kenaikan harga BBM bersubsidi baru-baru ini akan memperparah realitas kemiskinan di
Indonesia, baik dari sisi angka maupun dari sisi penggerusan harkat kemanusiaan masyarakat miskin itu sendiri. Jika dilihat secara ekonomi, imbasnya bisa mengembalikan angka kemiskinan kepada masa awal kepemimpinan SBY jilid dua, bahkan bisa lebih. Maka dari itu, jika Jokowi berbasiskan pada data yang dikeluarkan BPS alias data yang keluar dari parameter poverty line yang itu-itu saja (yakni jumlah rakyat miskin sebesar 28,28 juta jiwa) , maka niatan beliau untuk mengurangi tingkat kemiskinan sebesar 5-6% sama saja mempermainkan rakyat miskin karena angka yang ingin dikerek tidak berbeda jauh dengan penambahan tingkat kemiskinan imbas kenaikan harga BBM bersubsidi. Artinya, pemerintah menciptakan kemiskinan untuk kemudian dientaskan sehingga pada akhirnya terkesan telah melakukan sebuah prestasi yang besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: