Kemiskinan : antara Angka, Citra, dan Manusia

Kemiskinan : antara Angka, Citra, dan Manusia

Oleh: Ronny P. Sasmita

 

Memang lucu jika dipikir-pikir, rasanya tak ada yang tak tersentuh oleh palu godam politik, semua bisa dipolitisasi sesuai ekspektasi penguasa, termasuk masalah kemiskinan. Angka kemiskinan di negeri ini senantiasa terus membaik “secara politik” seiring hasrat rezim untuk terlihat berhasil dalam setiap program-program social kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Tapi nyatanya tak merubah realitas kemiskinan yang berseliweran dihadapan kita.

Rasanya semakin banyak saja yang berteriak miris menghadapi situasi ekonomi yang kian pahit, terseok-seok mengikuti roda ekonomi yang kian berbiaya tinggi (high cost economic).

 

Di kota-kota besar, gelandangan dan peminta-minta malah terasa semakin bertumbuh. Pengamen-pengamen semakin meningkatkan frekuensi kehadirannya ditempat-tempat umum, halte, bus kota, kaki lima, taman-taman kota, dan fasilitas publik lainya. Di desapun tak berbeda, penciutan lahan pertanian ikut memperkecil kesempatan kerja penduduk desa, selain semakin langkanya ekpansi-ekpansi usaha korporasi ke pelosok desa yang menutup kemungkinan pelebaran lapangan kerja. Keluhannya pun tak jauh berbeda dari dulu sampai sekarang, harga bahan pokok yang semakin mahal, penghasilan yang stagnan bahkan terus berkurang, pupuk-pupuk yang mahal dan sulit didapat, harga paska panen yang mencekik, narkoba masuk desa, atau akses-akses peningkatan pendapatan yang semakin mengecil.

 

Disisi lain, angka kemiskinan selalu berhasil disulap menjadi komoditas politik yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan rezim. Setiap tahun kita menyaksikan penguasa mengumumkan bahwa telah terjadi penciutan alias pengurangan masyarakat miskin. Namun lucunya, angka poverty line atau garis kemiskinan hanya mengalami pergeseran kecil, bahkan jauh dari

poverty line yang diterapkan Phillipine, apalagi Malaysia.

 

Pada masa kepemimpinan SBY, baik periode pertama maupun kedua, pergeseran angka poverty line ternyata sangat kecil, yakni dari 0,75 dolar ke 0,80 dolar per orang per hari, sementara Philipina sudah memakai garis batas 1,5 USD per hari per orang dan Malaysia menerapkan angka 2,5 USD sebagai garis batas kemiskinannya. Data terakhir dari BPS,

rata-rata garis batas kemiskinan ditarik dari angka pendapatan Rp.10.000 (0,80 USD) per orang per hari dan plus minus Rp. 302.375 per bulan per orang. Spesifiknya, garis kemiskinan untuk wilayah perkotaan adalah sebesar Rp. 318. 512 per bulan per orang dan untuk pedesaan adalah Rp. 286.097. Artinya adalah hanya penduduk yang berpenghasilan dibawah angka-angka inilah yang akan dikategorikan miskin oleh pemerintah.

 

Tentu kita bisa bayangkan, bahkan untuk seorang pengamenpun, angka ini adalah angka yang sangat mungkin diraih setiap bulan. Sementara itu kita mahfum belaka, masyarakat yang hidup diatas garis batas tersebut masih saja belum bisa dikatakan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: