Mengukur Perilaku Anti Korupsi Kita

Mengukur Perilaku Anti Korupsi Kita

Oleh :  Risma Hapsari, S.ST

Persoalan korupsi saat ini sudah bukan hal baru lagi di tengah kehidupan masyarakat Indonesia, semakin banyak kasus korupsi yang terbongkar dan menyeret berbagai kalangan. Korupsi termasuk sebagai perilaku kejahatan, korupsi tidak sekedar mencuri, tetapi ada unsur penyalahgunaan wewenang/kekuasaan di dalamnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang juga sedang mengalami masalah terkait korupsi yang cenderung terjadi di berbagai lapisan masyarakat.

Korupsi di kalangan pemerintahan telah tumbuh secara vertikal dan horisantal ke daerah-daerah. Korupsi di Indonesia sudah semakin meluas, tidak hanya terjadi di kalangan penyelenggara pemerintahan, pejabat publik, atau wakil rakyat saja tetapi sudah menyebar ke masyarakat bawah. Salah satu akar penyebab berkembangnya praktik korupsi diduga berasal dari rendahnya integritas para pelakunya dan masih kentalnya budaya permisif terhadap tindakan-tindakan korupsi.

Dalam rangka mempercepat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, sesuai amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (STRANAS PPK) jangka menengah tahun 2012-2014 dan jangka panjang tahun 2012-2025, maka diperlukannya ukuran penilaian sejauh mana budaya zero tolerance terhadap perilaku korupsi sudah terinternalisasi dalam setiap individu khususnya terkait dengan strategi kelima STRANAS PPK yakni Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi.

Hal ini dianggap penting karena salah satu akar penyebab berkembangnya praktik korupsi diduga berasal dari rendahnya integritas para pelakunya dan masih kentalnya budaya permisif terhadap tindakan korupsi. Masyarakat dengan kultur yang mendorong struktur sosial berperilaku koruptif perlu diubah pola pikirnya agar terbebas dari nilai-nilai koruptif, terlebih lagi agar menjunjung integritas. Lebih dari itu, sangat diperlukan perilaku aktif dari masyarakat untuk mencegah perilaku koruptif di masyarakat. (lampiran Stranas PPK:24)

Penilaian, pengetahuan, perilaku, dan pengalaman kita secara individu terkait perilaku anti korupsi di Indonesia, sangat perlu untuk diukur. Demikian juga dengan tingkat internalisasi budaya zero tolerance terhadap perilaku korupsi pada setiap individu. Untuk memenuhi kebutuhan ukuran perilaku anti korupsi tersebut, BPS bersama Bappenas menyelenggarakan Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) sesuai amanat Perpres, menghasilkan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK).

Sesuai kesepakatan dengan stakeholder dan para ahli, yang perlu diukur adalah penilaian individu terhadap kebiasaan masyarakat dan pengalaman langsung terkait layanan publik yang diakses oleh sebagian besar masyarakat, mencakup perilaku : Penyuapan (bribery), Pemerasan (extortion), Nepotisme (nepotism), dan akar dari kebiasaan korupsi.

Perilaku Korupsi adalah tindakan meminta (memeras) atau memberi imbalan (menyuap) berupa uang/barang, atau memberi keistimewaan (nepotisme) bagi layanan yang sudah seharusnya diberikan atau menggunakan kekuasaan/ wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sesuai dengan standar etik/moral atau peraturan perundang-undangan bagi kepentingan pribadi (personal, keluarga, kawan, dsb).

Perilaku Anti Korupsi adalah tindakan menolak/tidak permisif terhadap segala perilaku baik yang secara langsung merupakan korupsi, maupun perilaku yang menjadi akar atau kebiasaan pelanggengan perilaku korupsi di masyarakat yang terjadi di keluarga, komunitas, maupun publik.

Seseorang dikatakan sangat permisif terhadap korupsi, jika dia mendukung perilaku korupsi atau melindungi pelaku korupsi. Permisif terhadap korupsi jika seseorang cenderung membiarkan perilaku korupsi atau memaafkan pelaku korupsi. Kemudian disebut anti korupsi jika menasihati pelaku perilaku korupsi. Dan level tertinggi adalah sangat anti korupsi jika melaporkan perilaku korupsi atau menghukum pelaku korupsi.

Angka Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun terakhir adalaah sebesar 3,63 dari skala 5. Nilai indeks semakin mendekati angka 5, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia berperilaku semakin anti korupsi. Namun demikian, memaknai angka IPAK 3,63 perlu lebih hati-hati. Rentang jarak 3,63 dengan nilai batas permisif terhadap korupsi (2,50) lebih pendek dibanding terhadap angka toleransi nol terhadap korupsi (5,0). Artinya upaya untuk mencapai toleransi nol (zero tolerance) sesuai amanat Perpres 55 tahun 2012 masih membutuhkan kerja keras dan waktu yang tidak sebentar.

Berdasarkan klasifikasi wilayah, IPAK penduduk yang tinggal di perkotaan sebesar 3,71 dan yang tinggal di pedesaan sebesar 3,55. Ini artinya penduduk perkotaan cenderung lebih anti korupsi dibandingkan yang tinggal di pedesaan. Hal ini dikarenakan penduduk perkotaan lebih mudah untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang anti korupsi, baik dari media massa, akademisi, dan lembaga terkait.

Berdasarkan jenis kelamin, menunjukkan bahwa laki-laki cenderung lebih anti korupsi daripada perempuan. Hasil IPAK laki-laki adalah 3,66 sedangkan perempuan 3,60. Mungkin hal ini dikarenakan laki-laki lebih berani menasihati atau melaporkan jika ada perilaku dan pelaku korupsi,dibandingkan dengan perempuan.

Berdasarkan hubungan dengan Kepala Rumah Tangga (KRT), angka IPAK KRT sebesar 3,62 sedangkan pasangannya 3,63. Hal ini menunjukkan bahwa pasangan (suami/istri) KRT sedikit cenderung lebih anti korupsi dibandingkan KRTnya. Hal ini dikarenakan yang banyak pengalaman berhubungan dengan instansi pelayanan biasanya adalah Kepala Rumah Tangga, dibanding pasangannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: