PELACUR DEMOKRASI

PELACUR DEMOKRASI

 

Money politic adalah salah satu dari tiga penyakit dalam perpolitikan didunia termasuk di negara kita tercinta Indonesia. Dalam setiap peyelenggaraan pemilu sikap masyarakat terhadap politik uang ini justru sangat menghawatirkan, masyarakat semakin permisif (baca : menerima) praktek money politic, masyarakat justru menunggu datangnya “serangan fajar” dan operasi-operasi politik uang lainnya. Masyarakat tanpa malu lagi meminta uang, sembako, modal usaha bila ingin dipilih oleh sang calon. Bila melihat hal tersebut polanya sudah sangat transaksional sehingga unsur demokrasi / kotrak politik tidak terjadi dan akhirnya money politic yang dilakukan calon dan masyarakat telah mereduksi sistem demokrasi ideal menjadi demokrasi transaksional (pelacuran demokrasi).

Berdasarkan survei LSI yang dilakukan pada tahun 2010 (Pemilu Indonesia, 2014) tingkat penerimaan masyarakat terhadap praktek politik uang semakin meningkat. Hal ini terlihat dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dalam survei seperti ; apakah politik uang boleh dilakukan? apakah politik berpengaruh terhadapat penentuan suara? apakah anda akan memilih calon yang memberikan uang? dari semua pertanyaan tersebut masyarakat menjawab setuju dan setiap tahun semakin meningkat, pada saat pemilihan Anggota DPR, DPD, DPRD 2014 kemarin yang menggunakan sistem proporsional terbuka trennya pun hampir sama.

 

Model Money Politic

Bila melihat urutannya maka money politic terjadi awalnya pada saat sang calon mendaftar ke partai yang biasa disebut pembelian nominasi kandidat atau candidacy buying. hal ini terjadi salah satunya karena partai gagal mencetak kader yang berkwalitas yang mempunyai elektabilitas tinggi di masyarakat sehingga berfikir praktis dengan menjual “kursi”nya bagi kandidat yang berduit. Setelah candidacy buying urutan selanjutnya adalah vote buying dimana sang calon membeli suara dan masyarakat menjual suara mereka, terjadilah demokrasi traksaksional dimana politik akhrinya dibajak oleh politisi yang mempunyai duit saja. Dua model money politic diatas terjadi karena mental partai, calon dan masyarakat yang sudah sangat rusak, mereka berfikir bahwa mustahil memenangkan pemilu tanpa strategi money politic, apalagi melihat calon lain menggunakan cara yang sama.

Dalam pemilu 2014 yang lalu, penulis melihat pada saat tahapan pemilu, rakyat memposisikan diri menjadi subyek dan sang calon menjadi obyek. Setelah calon menjadi anggota DPR/DPRD yang terjadi adalah sebaliknya dimana mereka memposisikan diri sebagai subyek dan rakyat dijadikan sebagai objek.

Untuk menggambarkan maksud menjadi “subyek dan obyek“ penulis mempunyai cerita berdasarkan fakta, pada saat berbincang dengan kawan yang ikut menjadi calon anggota dewan beliau menceritakan bagaimana setiap hari ada saja proposal permintaan bantuan dari masyarakat untuk membangun jalan, mushola, lapangan futsal, voli, gedung pertemuan, dll dan bila dirupiahkan jumlahnya sangat luar biasa banyak, sehingga beliau merasa menjadi obyek (baca: diperas) oleh masyarakat. Setelah beliau jadi anggota dewan, akhirnya ada perasaan untuk tentunya mengembalikan uang yang telah dikeluarkan/cost politic untuk menjadi anggota dewan, dengan menjadikan masyarakat sebagai obyek.

Melihat prakteknya, dalam sebuah pemilu money politic dilakukan pada empat waktu yang berdekatan; pertama pada saat kampanye khususnya hari-hari terakhir, kedua pada saat masa tenang, ketiga pada H-1 dan keempat senjata pamungkasnya pada saat pagi hari sebelum pencoblosan atau dikenal dengan istilah “serangan fajar”. Lantas siapakah aktor money politik ? ada istilah “broker suara” dimana mereka ini merupakan tim sukses tapi tidak masuk dalam struktur tim kampanye/pemenangan resmi. Biasanya broker suara adalah seorang pemimpin komunitas bisa kepala desa /LSM/tokoh masyarakat yang mampu mengerahkan massa kapan saja, mampu memberikan garansi suara bagi calon berduit dan juga mampu mengamankan kawasan dari broker lain.

 

 

 

Korupsi Politik

Pembelian suara / vote buying dalam money politic memerlukan dana yang sangat besar, lantas dari mana para calon mendapatkan dana untuk political cost nya ? selain menggunakan dana pribadi, ada dua sumber dana yang biasa digunakan dan ini menjadi sumber korupsi politik. Pertama sumber dana dari para pebisnis yang menyumbangkan dana untuk beli suara, imbalannya tender konstruksi, proyek publik dan lisensi/regulasi yang menguntungkan pebisnis tersebut. Kedua, sumber dana dari korupsi APBD biasanya dilakukan oleh incumbent/petahana, karena merekalah yang menetukan kemana uang dibelanjakan dan didistribusikan. Biasanya uang/program kegiatan digelontorkan untuk wilayah yang merupakan basis pendukungnya saja dan mencabut atau mengurangi bantuan untuk daerah yang tidak mendukungnya. Contoh korupsi APBD yang baru saja terjadi dipilkada serentak ini adalah ada salah satu bupati didaerah Jawa Tengah yang mengumpulkan para ketua RT se-kabupaten kemudian mengarahkan untuk memilih calon bupati yang merupakan anaknya dengan imbalan uang bulanan untuk ketua RT akan dinaikkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: