Cukup Percaya Diri Tanpa Tsunami Buoy
JAKARTA – Semenjak tsunami Aceh tahun 2004 silam, indonesia terus mengembangkan teknologi peringatan dini terhadap tsunami. Saat ini, indonesia punya 165 sensor gempa, 52 sirine tsunami, dan ribuan skenario tsunami yang tergabung dalam Indonesia Tsunami Early Warning System (INA-TEWs)
Sebenarnya ada satu lagi alat yang bisa lebih akurat dalam mendeteksi tsunami. Alat ini bernama DART (Deep-ocean Assesment and Reporting Tsunami) atau yang lebih dikenal dengan tsunami buoy. Sekarang, alat ini tidak ada lagi dalam sistem INA-TEWs.
Alat ini punya dua komponen utama. Yakni alat pengukur arus dan tekanan yang disimpan di bawah laut. Saat tsunami terjadi, alat ini merekam data tekanan dan perubahan arus air di bawah permukaan. Lantas mengirimkannya pada pelampung (buoy) yang mengapung diatasnya. Buoy lantas mengirimkan laporan tersebut ke satelit, kemudian diteruskan ke stasiun pemantauan tsunami terdekat.
Pasca tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 2004, pemerintah memutuskan untuk membangun pelampung tsunami bekerjasama dengan Jerman, Malaysia, dan Amerika Serikat. Total 22 buoy disebar di sepanjang pantai barat Sumatera dan pantai Selatan Jawa.
Kepala Bidang Pengkajian Gempa dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono mengatakan dalam 13 tahun terakhir, sistem peringatan dini indonesia sudah berkembang pesat. Meski tanpa bouy, BMKG yakin peringatan bisa sampai akurat dan tepat waktu.
Saat ini, INA-TEWs mengandalkan modeling dan simulasi. “Kita punya sistem namanya Decision Support System, isinya ribuan skenario tsunami,” kata Daryono pada Jawa Pos kemarin (12/26).
Daryono menjelaskan, sistem INA-TEWs terbagi menjadi tiga sektor. Yang pertama adalah sektor monitoring. Alat-alat seperti sensor gempa dan pengukur ombak (tide gauge), bertugas melaporkan gempa dan gelombang tsunami.
Laporan dari alat monitoring akan diteruskan pada pusat komputasi INA-TEWs. Disini, data-data akan diolah. Hasilnya keluar pemetaan potensi hantaman tsunami, daerah-daerah rawan, serta estimasi sampai gelombang menghantam pantai. Hasil komputasi akan diteruskan ke stasiun-stasiun BPBD di daerah-daerah tersebut. “Nanti tergantung BPBD masing-masing, mau pencet tombol (sirine tsunami,Red), atau tidak,” katanya.
Sirine tsunami merupakan salah satu diantara sektor ketiga, yakni disseminasi. Setelah diketahui akan terjadi tsunami. Tantangan selanjutnya adalah menyampaikan informasi ke masyarakat secepat mungkin. Karena dalam kondisi demikian, setiap detik bisa jadi perbedaan antara hidup dan mati.
Dalam sektor ini, BMKG memanfaatkan semua channel. Mulai dari Twitter, Facebook, Website, lewat jaringan televisi dan media, telepon dan faksimili. BMKG juga punya sistem pengiriman SMS Local Based Service (LBS) yang akan mengirimkan pesan peringatan dini Tsunami ke semua HP milik warga di lokasi bencana. “Bahkan nomor yang belum teregister pun akan tetap menerima,” katanya.
Sepanjang 2007, perangkat INA-TEWs tercatat telah menyuarakan 18 kali peringatan tsunami, dengan 13 diantaranya benar-benar terjadi. 5 diantaranya tidak terjadi.
Kepala Pusdatin dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, dalam menentukan apakah akan terjadi tsunami atau tidak, BNPB dan BMKG hanya berpedoman pada sistem modeling dengan menentukan beberapa kriteria. “Misalnya jika gempa berkekuatan diatas 6 SR, berada di zona subduksi, serta di kedalaman kurang dari 20 km,” katanya beberapa waktu lalu.
Padahal, kata Sutopo, jika ada buoy, maka sistem peringatan tsunami bisa lebih akurat. Petugas bisa memetakan wilayah mana saja yang akan dihantam gelombang, serta berapa estimasi waktu sampai gelombang menghantam pantai.
Saat ini, Sutopo menyebut Indonesia hanya mengandalkan beberapa buoy milik negara tetangga yang dipasang di perairan internasional. Satu milik india di samudera Hindia, jauh ke barat Aceh, satu di laut Andaman milik Thailand, 2 di selatan pulau Sumba, milik Australia, serta satu di samudera pasifik di utara Papua, milik AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: