OPINI: Menyelisik Status Caleg Bagi Parpol

OPINI: Menyelisik Status Caleg Bagi Parpol

Tahun 2019 di depan mata. Perhelatan besar segera digelar.  Pemilihan umum (Pemilu) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, DPRD, DPD, dan Presiden jika tidak ada aral melintang akan dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019. Maka tahapan demi tahapan telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh para penyelenggara yang ditunjuk oleh negara. Berbagai aturan main dan perundang-undangan pun sudah pula disiapkan sedemikian rupa agar semua berjalan degan baik. Ending-nya, berharap terpilihlah pemimpin-pemimpin bangsa ini yang berkualitas.

Salah satu hal menarik untuk dicermati adalah ‘sepak terjang’ bakal calon (balon) atau calon anggota legislatif (caleg). Menjadi anggota legislatif (anggota DPR/D) masih merupakan impian besar bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hal ini wajar karena ‘keistimewaan’ yang ditawarkan dengan menjadi anggota dewan sangatlah menawan. Boleh dikatakan inilah cara ‘instant’ menjadi pejabat negara dengan fasilitas fantastis.

Berpedoman pada ketentuan dalam PP 18/2017 misalnya, siapa yang tidak tergiur dengan penghasilan pimpinan dan anggota DPRD yang terdiri atas uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan alat kelengkapan,  tunjangan komunikasi intensif, tunjangan reses, dan lain-lain. Puluhan bahkan bisa ratusan juta dibawa pulang setiap bulan. Belum lagi bicara fee proyek ini dan itu. Menggiurkan!

Untuk mendapatkan segala fasilitas tersebut caranya pun cukup sederhana. Cukup mengajukan diri (mencalonkan) untuk dipilih oleh rakyat melalui partai politik. Maka ‘berduyun-duyunlah’ orang masuk partai.

Melalui artikel singkat ini, saya tertarik untuk menyelisik status para calon legislatif ini bagi partai. Untuk menyederhanakan pembahasannya, saya menggunakan analogi (perumpamaan) dalam sebuah keluarga. Partai adalah keluarga dan caleg adalah anak.

Pertama, status anak kandung. Ini adalah calon legislatif yang diusung oleh partai dimana dia ‘dilahirkan’ dan dibesarkan. Dia memang dari awal berkarir di politik berada pada satu partai. ‘Sense of belonging’nya sangat tinggi. Memulai dari ‘nol’ hingga menjadi petinggi partai dan kemudian mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Bahasa lain dari ‘anak kandung’ ini adalah kader murni. Biasanya, ‘anak’ ini sangat mematuhi aturan main ‘orang tua’ alias partainya; tunduk dan patuh. Dia juga memahami secara baik ideologi dan aturan main partai.  

Kedua, status anak angkat. Ini biasanya caleg-caleg ‘ketemu besar’. Dia tidak tumbuh dan besar dari partai tersebut. Boleh jadi dia dibesarkan oleh partai lain, namun karena ada suatu lain hal ia memilih untuk mencari ‘bapak angkat’ yang mampu memberikan kesempatan kepadanya untuk mencalonkan diri. Atau, orang-orang yang sudah besar di bidang lain (seperti artis dan pengusaha) yang ingin terjun di dunia politik. Jelaslah bahwa ada kesepakatan saling menguntungkan yang dibuat antara ‘anak’ dan ‘bapak’. Tidak jarang pula, kesepakatan ini sangat transaksional.

Contohnya tidak susah dicari. Lihat saja, banyak pengusaha atau artis yang ‘tiba-tiba’ mencalonkan diri sebagai anggota dewan karena ditawari oleh parpol dengan alasan untuk memenangkan parpol atau sekedar mendongkrak elektabilitas. ‘Saling menguntungkan’!

Ketiga, status anak asuh. Biasanya ada alasan kuat mengapa seorang anak harus diasuh oleh orang lain, diantaranya dikarenakan oleh orang tuanya telah meninggal dunia atau diterlantarkan (orang tua yang tidak mampu atau tidak diketahui keberadaannya). Agar anak tersebut tidak terlantar maka dititipkan di lembaga seperti panti asuhan atau orang-orang yang bersedia menjadi orang tua asuh.

Analogi ini agaknya juga tepat bagi sebagian caleg. Ada caleg-caleg yang ‘terlantar’ kemudian mencari orang tua asuh. Biasanya karena partai tempat ia bernaung telah ‘meninggal dunia’ atau di partai tersebut dia tidak mendapat perhatian (diterlantarkan). Caleg-caleg seperti ini biasanya juga suka mencari perhatian dan ‘gonta-ganti’ orang tua asuh. Ketika dia tidak suka, maka dia akan mencari orang tua lain. Bahkan ada yang hampir semua partai ‘dicobanya’, hehehe.

Lantas mana yang baik? Saya tidak sedang menilai karena penilaian terbaik adalah di tangan rakyat. Rakyat paling berhak untuk melihat dan meneliti mana calon-calon anggota legislatif yang mampu mewakili suara rakyat. Ingat, rakyat cerdas, pemimpin berkualitas!

Akhirnya, tiga jenis status caleg dalam partai politik yang saya rumuskan ini hanyalah sebuah analogi (perumpamaan) dan tidak menjastifikasi atau menilai mana yang baik dan tidak baik karena sesungguhnya suara penentu adalah suara rakyat. Apa pun status calegnya, biar rakyat yang memilih! #BN32014032018

*Akademisi UIN STS dan Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi [KOPIPEDE] Provinsi Jambi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: