Rest In Peace Suara Inspirasi
Katanya, Murray belajar memperlakukan semua orang setara karena pengalamannya sebagai veteran perang. Pada Perang Dunia II, Murray memang ikut bertempur di Eropa. Ia mengemudikan tank di medan pertempuran.
Walau antusias dan jenius dalam berkomunikasi, Murray juga dikenal gara-gara sering \"selip lidah.\" Kata beberapa orang, kalau Murray itu ikut balapan, ia mungkin termasuk sering melintir. Tapi, selip lidahnya khas. Selip lidahnya itu yang menjadikannya seorang Murray Walker. Sampai muncul istilah khas: \"Murrayism.\"
Orang memaklumi dan tidak menghujat Murray saat dia selip lidah. Karena orang akan sangat merasakan, ia \"terpeleset\" karena terlalu antusias, terlalu cinta, terhadap apa yang ia lihat dan ingin ia sampaikan.
Misalnya: \"Ada api berkobar di belakang mobil!\"
Komentator rekannya akan menimpali santai: \"Itu lampu belakang yang menyala Murray!\"
Saya tidak perlu menjelaskan panjang lebar apa saja Murrayism itu. Anda bisa menggugel sendiri, mencari sendiri di YouTube. Silakan cari, lumayan menghibur. Saya yakin, Anda bisa ikut jatuh cinta padanya! Antusiasme yang begitu tinggi memang sangat menular!
Catatan khusus: Murray tidak mau duduk saat mengomentari lomba. Ia memilih selalu berdiri agar bisa lebih berekspresi.
Begitu membaca kabar kepergian Murray Walker, saya langsung membuka map koleksi khusus saya. Map itu berisikan foto-foto dan tanda tangan dari pembalap atau sosok F1 yang saya temui selama puluhan tahun.
Di situ, ada foto saya bersama Murray Walker saat meliput sebuah acara resmi F1 di sekitar Grand Prix Malaysia, di penghujung 2000. Itu bulan-bulan terakhirnya bekerja full time meliput F1. Usianya waktu itu sudah 78 tahun, tapi ia masih begitu energik dan antusias. Dan benar kata orang-orang, ia akan dengan ramah melayani ngobrol dengan siapa saja. Lihat saja foto bersama saya itu, senyumnya begitu tulus, matanya begitu menyala.
Dengan ramah, Murray menandatangani secorek kertas yang saya sodorkan. Sebuah print out tanda terima ID liputan resmi F1. \"To Azrul, Murray Walker.\"
Saya bersyukur, pada akhirnya saya memang bisa menjadi salah satu peliput utama F1 dari Indonesia. Saya bersyukur, pada akhirnya saya bisa menjadi komentator F1 selama bertahun-tahun di sejumlah TV. Bahkan sempat ditawari jadi komentator di stasiun kabel di luar negeri, yang saya tolak karena saya tidak mungkin tiap pekan/dua pekan terbang ke sana untuk bekerja.
Dalam hal menulis, inspirasi saya memang ada beberapa. Tapi untuk bisa terus bersemangat bicara soal F1, dan semakin belajar tentang pentingnya antusiasme, itu karena suara Murray Walker yang sudah saya dengar sejak kecil.
Dalam beberapa tahun terakhir, F1 memang sudah kehilangan suara mesin yang melengking tinggi. Tapi itu tidak ada apa-apanya dengan hilangnya suara seorang Murray Walker.(Azrul Ananda)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: