Super League Indonesia
Wednesdaya, 28 April 2021
Oleh: Azrul Ananda
Super League diumumkan, Super League hilang. Atau hilang sementara. Atau menunggu waktu lebih tepat. Atau akan muncul lagi dalam bentuk yang berbeda. Entahlah. Karena meski Super League hilang, rasanya niatan atau harapan untuk menuju ke sana masih ada bagi klub-klub terbesar dunia itu.
Saya tahu para pembaca, khususnya yang penggemar sepak bola, punya opini kuat tentang Super League. Kemungkinan besar opini itu cenderung emosional, marah, tidak suka, terhadap keinginan belasan klub Eropa untuk bikin liga sendiri.
Saya, yang sejak kecil condong suka Barcelona dan AC Milan, lalu tertular ayah menyukai Liverpool, tentu juga terhenyak dan merasakan reaksi tersendiri membaca rencana Super League itu. Apalagi, tiga klub yang saya suka itu semuanya sempat ikutan.
Tapi mari kita mencoba melihatnya dari sisi non-emosional. Karena dunia tidak ada yang hitam-putih. Dan rasanya ada jauh lebih banyak dari 50 shades of grey. Lalu, saya akan mencoba memandangnya lewat liga di Indonesia, pelajaran apa yang bisa kita dapatkan dari kehebohan ini.
Lewat Super League, klub-klub raksasa itu tentu ingin mendekatkan diri dengan sistem liga di Amerika. Di mana liga-liganya bersifat \"closed league.\" Di mana semua tim dijamin berada di dalamnya, dijamin pemasukan yang lebih tetap, dijamin punya kesempatan untuk selalu eksis dan mengejar prestasi.
Sementara di Eropa, tradisi dan sejarah yang begitu panjang menentukan sistem yang ada sekarang. Tradisi dan sejarah yang belum tentu industry oriented, yang kemudian harus menghadapi kenyataan dunia yang menuntut uang, uang, dan uang. Antara penyebaran uangnya sulit merata, tidak bisa merata, atau harus dibagi pula bersama organisasi atau struktur payungnya.
Walau air (uang) itu diupayakan menetes sampai bawah, sudah hukum alam bahwa butuh sistem pengairan rumit dan komplet untuk mengantarkan air sampai ke bawah. Dan sistem itu juga butuh biaya besar, mengurangi lagi jumlah yang bisa dibagikan atau diteteskan.
Semua tahu, sulit untuk melepaskan diri dari tradisi dan sejarah. Andai tradisi itu ternyata dalam perjalanannya menjadi tidak baik dengan situasi terbaru, butuh waktu dan pemahaman massal untuk mengubahnya.
Tidak bisa seperti di Amerika. Yang tradisinya dari dulu sudah seperti itu. Pure industry dari awal. Closed league sejak awal. Tidak ada liga berjenjang. Adanya liga berbeda level. Bikin liga adalah pasar bebas. Kalau ada dua liga besar, maka akan bersaing sampai ada yang kalah atau melakukan merger. Liga terbesar dunia sekarang, NFL, adalah hasil merger dari AFL (American Football League) dan NFL (National Football League).
Harus diakui, ada banyak \"kekuatan Amerika\" di balik rencana Super League. Ada komentar seru dari New York Times soal ini. Mereka menyebut, dari belasan klub yang semula hendak bergabung di Super League, semua bisa dibagi dalam tiga kelompok kepemilikan dan tuntutan.
Kelompok pertama adalah klub-klub Inggris milik orang Amerika, atau punya afiliasi Amerika. Yaitu Liverpool, Manchester United, Arsenal, dan Tottenham. Harapan mereka tentu mirip liga di Amerika. Kasarnya tentu cari uang. Tapi kalau kita mau fair menilai, yang mereka inginkan bukan sekadar uang. Yang mereka mau adalah regulasi finansial yang jelas untuk mengontrol biaya dan gaji. Plus jaminan pemasukan yang stabil (dan berpotensi terus berkembang).
Lalu ada grup kedua, seperti Manchester City dan Chelsea. Mereka dimiliki oleh orang superkaya yang tidak suka batasan-batasan. Tujuan mereka untuk menang-menang-menang, bukan untuk cari uang. Mereka mengejar popularitas, dan mungkin pengakuan masyarakat serta pengaruh politik.
Dan lantas ada grup ketiga. Pada dasarnya klub-klub Spanyol dan Italia. Bagi klub-klub ini, dua grup yang lain sebenarnya dianggap sebagai masalah. Kesuksesan Premier League di Inggris membuat gaji pemain melonjak. Membuat klub-klub negara Eropa lain mengalami tekanan untuk ikut bersaing. Membuat klub-klub seperti Real Madrid dan Barcelona harus menumpuk hutang begitu besar dan masa depan mengkhawatirkan.
Pandemi, dan kondisi ekonomi dunia yang terdampak, membuat tiga kelompok ini tiba-tiba semakin tegas punya kebutuhan sama. Super League dianggap bisa memuaskan ketiganya. Yang kelompok satu bisa memasukkan elemen regulasi finansial. Kelompok dua, walau sebenarnya bisa diborgol oleh regulasi finansial, juga suka karena tetap dapat faktor prestige dan potensi keuntungan finansial. Kelompok ketiga paling senang karena bisa mendapatkan peluang ekonomi setara dengan klub-klub Premier League.
Masalahnya: Ini dianggap melanggar tradisi dan sejarah.
Pada akhirnya, hanya dalam hitungan hari, konsep Super League terkubur dulu. Tapi bukan berarti hilang. Pada suatu saat nanti, saat momen dan situasi memungkinkan, jangan kaget kalau konsep ini muncul lagi.
Karena paling tidak, ide Super League menunjukkan kalau ekonomi dan ekosistem sepak bola sekarang mungkin sudah ketinggalan zaman. Klub harus mengeluarkan banyak uang karena tuntutan penggemar/prestasi. Untuk memenuhi tuntutan itu, klub harus terus menghasilkan uang. Karena biaya akan terus naik, apalagi kalau tidak ada regulasi yang jelas, klub harus terus berpikir bagaimana mencari sumber revenue baru.
Super League sekarang mungkin ditolak. Tapi ke depan harus ada cara untuk memenuhi kebutuhan baru itu. Karena ketika sebuah liga baru bisa menjamin penghasilan empat kali lebih banyak dari juara liga lama, berarti ada sesuatu yang kurang pas bukan?
Sekarang kembali ke judul tulisan ini.
Tidak, saya tidak mengusulkan ada Super League di Indonesia. Sepak bola kita masih belum sepenuhnya \"sembuh\" dari dualisme yang terjadi dulu itu. Tapi, di satu sisi, saya suka adanya kegaduhan soal Super League di Eropa ini. Karena Super League di Eropa itu adalah kegaduhan yang muncul karena tuntutan industri dan ekonomi, dan bisa membuat fans sepak bola di seluruh dunia berbicara --dan meraih pemahaman global-- tentang apa itu industri sepak bola dan olahraga.
Saya melihat sekeliling liga kita sendiri. Dari 18 klub di Liga 1, belum tentu ada separo yang punya pemahaman tentang apa itu industri olahraga. Yang saya senang, makin lama semuanya makin memikirkannya dan makin ingin menuju ke sana.
Kita ini kan mirip dengan model di Eropa itu. Dan itu berarti di masa depan kita akan punya potensi masalah yang sama. Di mana klub-klub terbesar bisa terborgol potensinya oleh lingkungan dan birokrasi.
Sekarang saja, klub-klub terbesar bisa dibilang sudah dibatasi pemasukannya. Klub-klub inilah yang dianggap bisa mendatangkan rating televisi, dan hak siar adalah pemasukan utama liga sekarang. Tapi, klub-klub ini harus \"rela\" mendapatkan pembagian yang sama dengan yang lain. Itu pun pembagiannya masih jauh dari ideal. Tidak seperti liga-liga tersukses dunia, yang lebih dari 50 persen revenue liganya dibagikan untuk klub peserta. Di kita masih dipotong dulu untuk hal-hal lain, baru kemudian sebagiannya dibagikan ke klub-klub.
Cilakanya, banyak klub masih menganggap itu sebagai \"subsidi.\" Padahal itu bukan bantuan. Itu hak komersial klub sebagai peserta liga. Jadi, kalau masih ada pengelola klub kita bilang minta subsidi, berarti dia masih belum paham apa itu industri olahraga.
Tapi sekali lagi, kita masih harus menjalani beberapa langkah sebelum jadi liga yang maju dan benar-benar punya konsep industri. Harus menunggu dulu semuanya paham apa itu industri, lalu belajar melihat kalender dan membuat jadwal yang jelas dan tegas, baru kemudian bisa bicara soal potensi revenue masa depan dan regulasi finansial untuk mengawal sustainabilitasnya.
Klub-klub besar Eropa teriak Super League karena merasa situasi sekarang mulai unsustainable. Sedangkan klub-klub kita masih menghadapi situasi di mana masa depan masih belum jelas, masih unplannable. (azrul ananda)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: