DISWAY: Revolusi Energi (3)
Sementara \'menentang arus\' itu kita membangun industri solar panel modern besar-besaran. Juga pabrik baterainya.
Pada saatnya kita akan membalikkan opini dunia: Indonesia go green melebihi negara mana pun. Tapi kita sudah lebih dulu telanjur maju.
Kita hanya perlu mundur sedikit –untuk ancang-ancang melompat ke depan nan jauh.
Kita memang sengaja melawan kecenderungan global. Untuk sementara. Hanya sementara. Untuk apa ikut global kalau kita sendiri jadi korban global itu.
Apalagi limbah batu bara sudah dikoreksi –oleh UU Cipta Kerja. Atau turunannya. Aturan baru itu: limbah batu bara bukan lagi B3.
Kita memang akan dikecam dunia. Tapi kita lawan dengan gagah. Seperti Tiongkok tidak peduli apa kata dunia. Kini justru dunia yang mengagumi Tiongkok.
Bukankah kenyataannya kita telah lama menyediakan paru-paru dunia?
Sudah saatnya kita punya neraca lingkungan sendiri. Berapa kita memproduksi oksigen selama ini. Berapa pula kita memproduksi CO2.
Tentu kita tidak akan ngawur. Penggunaan batu bara itu harus ketat. Harus memenuhi syarat lingkungan semaksimal mungkin.
Ketika harga listrik sudah murah kita galakkan industri. Industri apa saja. Kita raih kembali tahap kita sebagai negara industri.
Tanpa menjadi negara industri SDM kita tidak akan terseret cepat ke atas.
Industri yang juga harus kita rangsang adalah ini: kompor listrik untuk rumah tangga.
Dulu rumah tangga kita memakai kayu untuk masak. Merusak lingkungan. Lalu pindah ke kompor minyak tanah: merusak lingkungan –sekaligus merusak APBN.
Kita lantas berhasil mengalihkannya lagi ke elpiji dan gas. Merusak segala-galanya. Gas kita tidak cukup lagi. Elpiji kita begitu juga. Subsidi elpiji tidak terbayangkan menjadi momok baru.
Belum lagi logistiknya. Sangat tidak modern. Semua rumah punya dapur. Semua dapur perlu elpiji. Se-Indonesia! Lihatlah keruwetan logistiknya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: