Rekor Keluar Bandara
Saat kuliah dulu, memang ada pelajaran untuk tidak boleh berasumsi. Dalam bahasa Inggrisnya \"assume,\" yang bisa dipelesetkan \"making an ass out of u and me\" alias \"malu-maluin kamu dan saya.\"
Tapi kali ini, malu-maluin tidak apa-apa yang penting bisa masuk lebih mudah. Harapannya begitu.
Sebelum berangkat, kami lebih hati-hati. Sekitar seminggu sebelum berangkat, saya sendiri sudah swab sendiri. Lalu sehari sebelum berangkat swab PCR. Lalu mengisi formulir kesehatan Amerika yang sudah di-download, untuk ditunjukkan ke maskapai dan ketika mendarat.
Semua aman, semua berangkat lancar.
Penerbangan lancar. Lewat tengah malam dari Jakarta, jadi bisa tidur hampir sepanjang delapan jam pertama. Transit dua jam, sempat ngopi dan nyemil. Lalu terbang lagi 16 jam, sebisa mungkin tidak tidur. Karena dijadwalkan mendarat di Houston pukul 16.00. Kalau sebelumnya bisa me-manage keinginan tidur, maka setelah tiba malamnya bisa tidur normal dan menyiasati jet lag. Selisih pas 12 jam antara tengah Amerika dan WIB, yang di Indonesia 12 jam lebih dulu.
Ini zaman online, jadi penerbangan panjang tidak masalah. Banyak film dan serial TV bisa ditonton. Ada wifi, bayar \"hanya\" 10 USD bisa online sepanjang penerbangan. Koneksinya lumayan cepat. Bisa nonton YouTube juga! Aman.
Sebelum mendarat, degdegan juga. Karena diumumkan memang bisa ada pemeriksaan kesehatan secara acak.
Berdasarkan pengalaman ke Amerika hampir setiap tahun sebelum pandemi, saya selalu menyiapkan waktu dua jam antara landing hingga keluar dari bandara.
Dulu, waktu pasca serangan 9/11 di New York 2001, sempat hampir sepuluh tahun saya selalu harus masuk pemeriksaan imigrasi lanjutan (secondary). Normal untuk pengunjung berusia 16-40 tahun, khususnya laki-laki dari negara mayoritas Islam waktu itu.
Bisa tiga jam antara mendarat hingga keluar bandara. Bukan pemeriksaan berat, biasanya hanya berisikan interviu tambahan dan menjelaskan detail perjalanan. Hanya prosedurnya saja yang lama karena kadang ada antrean lagi di secondary itu.
Sejak pemerintahan Obama, proses ini tidak lagi saya jalani. Sudah imigrasi normal saja. Pun saat pemerintahan Trump. Dan sekarang ternyata masih sama.
Malahan, ini mungkin rekor saya tercepat dari landing hingga keluar bandara. Tidak sampai satu jam.
Keluar dari pesawat, kami berjalan ke antrean imigrasi. Sebelum pandemi, pada dasarnya kita tidak perlu berbicara dengan petugas imigrasi saat mendarat di Amerika. Cukup antre ke puluhan layar monitor. Scan paspor, foto wajah, tekan-tekan pakai touchscreen sedikit, lalu bebas keluar. Hanya kalau ada masalah (atau perlu pemeriksaan tambahan) layar itu meminta Anda menemui petugas imigrasi. Bukan sesuatu yang hebat sih. Indonesia juga ada. Banyak negara juga sama.
Tapi kali ini, kawasan touch screen itu ditutup. Kami harus ikut antrean normal menemu petugas manusia. Antrean yang cukup panjang. Tapi cepat dan lancar. Petugas imigrasinya khas Amerika. Tegas, tanggap, cepat, dan ramah mengarahkan antrean untuk memperlancar gerak antrean. Begitu bagian warga negara selesai, yang pengunjung dengan cepat diarahkan ke antrean itu, mempercepat lagi arus flow imigrasi.
Oleh petugas, paspor saya di-scan, tapi formulir dan data swab hanya dilihat sekilas dan diminggirkan. Dengan ramah, saya ditanya, ada urusan apa ke Amerika. Saya bilang mau ikut balap sepeda. Dia lantas bertanya, di mana? Saya jawab Kansas. Dia tanya lagi, apakah bawa sepeda? Saya bilang iya. Dia tanya lagi, bagaimana membawa sepedanya? Saya jawab sepedanya bisa di-packing di koper khusus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: