>

Tarif PCR di Indonesia Tembus Rp1 Juta, India Hanya Rp100 Ribu, Harusnya Gratis

Tarif PCR di Indonesia Tembus Rp1 Juta, India Hanya Rp100 Ribu, Harusnya Gratis

JAKARTA-Biaya tes PCR yang mahal di Indonesia menjadi sorotan. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat yang enggan segera melakukan tes saat bergejala.

Tingginya harga tes PCR semakin menjadi perbincangan setelah diketahui bahwa India menetapkan kebijakan yang membuat harga tes PCR jauh lebih murah. Sebagai perbandingan, rata-rata tes PCR di Indonesia menghabiskan biaya Rp900 ribu hingga Rp1 juta.

Bahkan, harganya bisa lebih tinggi jika menginginkan hasil yang lebih cepat. Sementara itu, tes di India lebih murah, yakni 500 rupee atau berkisar Rp 100 ribu.

Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama menuturkan, pada September 2020 ketika akan pulang kembali ke Jakarta dari New Delhi, dirinya menjalani tes PCR sebelum terbang.

“Petugasnya datang ke rumah saya dan biayanya 2.400 rupee atau sekitar Rp 480.000. Waktu itu tarif tes PCR di negara kita masih lebih dari Rp1 juta,” tuturnya.

Kemudian, pada November 2020, Pemerintah Kota New Delhi menetapkan harga baru yang jauh lebih rendah, yakni hanya 1.200 rupee atau Rp 240.000. Yoga menuturkan bahwa harga itu turun separo dari yang pernah dia bayar pada September 2020. Di laboratorium maupun RS swasta, biayanya malah lebih murah, yakni Rp160 ribu atau 800 rupee.

Kebijakan terbaru, Pemerintah Kota New Delhi pada awal Agustus 2021 membuat harga PCR kembali turun menjadi 500 rupee atau sekitar Rp 100 ribu. ”Kalau pemeriksaannya dilakukan di rumah klien, tarifnya adalah 700 rupee atau Rp 140 ribu. Sementara itu, tarif pemeriksaan rapid test antigen adalah 300 rupee atau Rp 60 ribu,” jelas Yoga.

Pemerintah Kota New Delhi juga meminta laboratorium swasta di kota itu bisa menyelesaikan pemeriksaan dan memberitahukan hasilnya ke klien dalam 1 x 24 jam. Termasuk melaporkannnya ke portal pemerintah yang dikelola Indian Council of Medical Research (ICMR). Dengan begitu, data segera dikompilasi di tingkat nasional sehingga mencegah keterlambatan pelaporan.


Meski demikian, kata Yoga, harus diteliti lebih lanjut mengapa pemerintah India sanggup menurunkan harga tes sebesar itu. Salah satu rekannya di India menyebutkan kemungkinan adanya subsidi dari pemerintah setempat. Ada juga informasi bahwa ada fasilitas keringanan pajak. Meski, dia belum bisa memastikan kebenaran informasi tersebut. ”Yang jelas, kalau harga tes lebih murah, jumlah tes di negara kita juga bisa lebih banyak sehingga lebih mudah mengendalikan penularan di masyarakat,” katanya.

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyebutkan, untuk memasifkan testing dan tracing, seharusnya pemerintah bisa menggratiskan tes PCR. Itu terutama dalam konteks kepentingan penelusuran kontak. ”Yang bayar itu hanya untuk yang naik pesawat, yang keluar negeri, atau ke daerah untuk penerbangan atau perjalanan laut,” jelas Dicky.

Untuk kepentingan menemukan dan melacak kasus ketika terdeteksi ada klaster tertentu, menurut dia, tes PCR seharusnya digratiskan. ’’Jadi, ada masyarakat yang merasa khawatir karena kontak dengan pasien positif, dia bisa berinisiatif tes sendiri,” jelasnya. Dengan begitu, tracing bisa lebih masif. Sesuai standar WHO, rasio tracing yang ideal adalah 1:30.

Yang umum diketahui selama ini, pemerintah menggratiskan tes dalam rangka tracing. Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu begitu. ’’Saya punya banyak laporannya. Masyarakat yang merasa ada gejala itu ya tes sendiri, bayar sendiri. Indonesia masih yang pasif (soal testing, Red), belum termasuk yang gratis,” jelasnya. (jpg)

Sumber: www.fajar.co.id

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: