DISWAY: Keindahan Persoalan
Kadang, ketika baru membaca sepertiga, sudah mendapat banyak komentar pilihan. Tapi selalu muncul perasaan seperti ini: tidak adil kalau tidak dibaca semua, siapa tahu di bawah-bawah juga ada yang layak dipilih.
Supaya adil: tidak ada yang dipilih!
Kebetulan, kami sudah sampai di rumah kepala dusun. Sudah pukul 20.00. Hujan pula. Lelah. Ngantuk. Lapar. Jadi satu di puisi kehidupan.
Saya lihat putri kepala dusun bergegas masak: di dapur kayu itu. Tidak hanya api yang menyala dari dapur itu. Hope dari perut pun ikut menyala-nyala.
\"Di mana ayahanda?\" tanya saya.
\"Di kebun. Jaga tanaman jagung,\" jawabnyi.
\"Ibu di mana?\"
“Tengok cucu yang di Mataram\".
\"Suami?\"
\"Juga di kebun. Kalau tidak dijaga takut diserbu babi hutan,\" jawabnyi.
Saya lihat bayinyi tidur pulas di lantai. Juga kakak bayi itu.
Mertua-menantu itu di kebun jagung semalam suntuk. Tiap malam. Di lereng Tambora. Jaraknya: satu jam jalan kaki dari rumah ini.
\"Kuah ayam ini sedap sekali. Kuahnya segar. Ayamnya gurih,\" kata saya. Ngantuk pun hilang. \"Ini diberi bumbu apa?\" tanya saya.
\"Sedikit kunyit, jahe, merica, bawang putih. Bawang putihnya agak banyak. Itu saja. Bumbu itu diuleg lembut. Lalu dimasukkan wajan - -yang sedikit minyak gorengnya sudah panas. Tambahkan air. Setelah mendidih barulah ayamnya dimasukkan,\" katanyi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: