>

DISWAY: Merdeka Udara

DISWAY: Merdeka Udara

Kenyataan itu membuat Indonesia tidak mudah: bukan saja harus meyakinkan Singapura, tapi juga masyarakat penerbangan sipil internasional. Yang bagi mereka keselamatan adalah segala-galanya.

Sistem kontrol udara yang berlaku di Indonesia masih terbagi dua: wilayah barat dan timur. Ketika merancang sistem pun hanya sebatas untuk melayani wilayah yang menjadi tugas Indonesia. Udara di atas Batam, Bintan sampai Natuna, tidak dimasukkan: toh sudah ditangani Singapura.

Kita tentu tidak bisa merebut kedaulatan tersebut dengan hanya bermodal emosi. Kita harus memperbaiki dulu kualitas sistem kita.

Maka saya ingat pada tahun tertentu disetujui penggunaan anggaran Rp 100 miliar. Yakni untuk perbaikan sistem dan peralatan kontrol udara wilayah barat. Yang mampu sekalian menangani udara yang harus kita rebut.

Sejak tahun tertentu itu, secara teknis Indonesia sudah mampu. Udara Batam, Bintan, sampai Natuna bisa di tangani Indonesia. Tapi tetap saja masih dipandang rendah di mata Singapura dan internasional.

Negosiasi dengan Singapura pun dilakukan. Alot. Makan waktu dan perasaan. Singapura selalu menggunakan senjata kecanggihan sistem dan peralatan mereka. Keselamatan penerbangan sipil internasional selalu jadi tameng yang ampuh.

Negosiasi terakhir, sepanjang pengetahuan saya terjadi bulan Maret 2019. Sebelum ada Covid-19. Pihak Singapura mengajukan draf perjanjian. Saya lihat draf itu sudah diparaf tiga pihak.

Apakah draf itu yang ditandatangani Presiden Jokowi dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong Selasa kemarin?

Semoga bukan itu. Semoga draf dari Singapura itu sudah diperbaiki. Terutama pasal 4-nya. Juga pasal 2. Termasuk pasal 6.

Draf itu masih menyebut adanya lapisan langit pertama dan langit kedua. Yang di bawah 20.000 kaki menjadi urusan Indonesia. Langit kedua masih diurus Singapura.

Itu draf yang saya baca. Dibuat tahun 2019. Lalu Covid. Saya tidak tahu apakah selama Covid ada pembicaraan untuk menyempurnakan draf tersebut.

Kalau pembagian langit itu tidak ada, Indonesia menjadi berdaulat penuh. Kedaulatan menggendong tanggung jawab. Ketika kedaulatan pindah ke Indonesia, tanggung jawab ikut pindah ke Indonesia.

Itu ngeri-ngeri sedap.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: