>

DISWAY: Tol Al Haka

DISWAY: Tol Al Haka

Dia pun membuat keputusan cepat. Dia serahkan kue itu ke Purnawirawan, direkturnyi sendiri. Tapi semua sependapat: sang direktur memang pekerja keras.

Dan saya menemukan Musangking Lampung. Ini bukan Musangking tapi Musangking. Saking Musangkingnya saya sampai minta dijadwalkan kapan panen berikutnya tiba.

Habis senam begitu seru –dengan perut sekenyang itu– saya takut: bisa tertidur di mobil. Apalagi perjalanan ke Palembang lewat jalan tol. Pasti mengantuk.

Saya lawan kantuk itu.

Saya ingin melihat jalan tol Sumatera ini secara kafah. Saya ingin menghitung: ada berapa perbaikan. Ada berapa pula sambungan jembatan yang sampai membuat penumpang terlambung.

\"Ya ampuuun, sudah sampai exit Metro,\" ujar saya tidak bisa menahan kekaguman perpendekan jarak tempuh. Belum lagi 30 menit exit Metro terlewatkan.

Saya pernah ke Metro: 10 tahun lalu. Begitu jauh. Begitu sulit. Begitu di pedalaman. Pantas kalau listrik lebih sering mati dan lebih sulit lagi menghidupkannya. Problem listrik di Metro sama beratnya dengan di Lombok Timur. Awalnya PLN tidak bisa masuk ke sana: dikuasai koperasi. Rakyat menderita tapi koperasinya tidak kooperatif.

Untung di perjalanan ini saya ditemani Mas Yanto dan Bung Aca.

Mas Yanto orang Jawa tapi lahir, besar, sampai jadi sarjana di Lampung. Lalu jadi dirut Radar Cirebon.

Bung Aca orang Lampung yang lahir dan besar di Bengkulu. Lalu jadi dirut Radar Lampung.

Dua orang itu menjadi tour guide yang baik di sepanjang jalan tol. Mereka bisa menunjuk di mana kampungnya Erick Thohir, kampungnya Aburizal Bakrie, kampungnya Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, kampungnya Ketua MPR Zulkifli Hasan.

Dari jalan tol ini juga bisa dimonitor: oh... itu kebun nanas milik Great Giant Pineapple. Yang begitu luas. Tidak habis-habisnya.

Oh... itu kebun tebu milik swasta itu. Yang dulu berperkara itu. Oh... itu perkebunan tebu milik PTPN 7. Oh... Itu kebun singkong untuk pabrik tapioka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: