Jurnalisme dan Tantangan Masa Depan

   Jurnalisme dan Tantangan Masa Depan

Sang peraih Pulitzer itu memilih bunuh diri karena sangat depresi. Dia mengakhiri hidupnya dengan cara sungguh tragis. Asap knalpot dialirkan ke dalam mobil, lewat jendela, tepat ke arah bangku pengemudi. Hingga akhirnya meninggal karena keracunan karbon monoksida.

Depresinya yang berujung bunuh diri ini juga lantaran rasa bersalahnya atas kematian sahabat karibnya, Ken Oosterbroek, yang tertembak saat meliput pertempuran di Afrika Selatan. Kejadiannya tepat ketika Kevin Carter diwawancarai media atas penghargaan Pulitzer. Bagi Kevin Carter, seharusnya dialah yang terbunuh, bukan Ken.

Kegagapan Jurnalisme Saat Ini

Kisah Kevin Carter menjadi satu dari banyak cerita yang memotret bagaimana kerja jurnalis dan bagaimana mereka memikul tanggung jawab besarnya. Kevin hingga akhir hayatnya tetap berupaya untuk menegakkan nilai-nilai jurnalismenya.

Dengan kerja jurnalistik, dia mengabarkan berbagai peristiwa dan menyuarakan suara kelompok-kelompok yang tak kuasa bersuara. Melalui karya jurnalistik terbaik pula. Meskipun nyawa sebagai taruhan.

Akan tetapi, tentunya tanpa meniru caranya yang memilih bunuh diri ataupun depresi seorang jurnalis haruslah menunjukkan nilai independensi, profesional, dan tentunya juga harus berintegritas.

Praktik jurnalisme haruslah bertitik tolak pada aspek kebenaran, dan berpihak kepada kepentingan publik yang sangat besar. Yang juga penting, jurnalis harus selalu berfungsi secara jujur dan objektif saat melakukan kerja jurnalistiknya, beretika dan juga beradab.

Yang jelas, tantangan jurnalis sekarang makin kompleks. Dahulu, industri pers sebagai penjaga gerbang informasi. Posisinya jelas, monopoli akses informasi ke masyarakat luas. Tapi sekarang, ada alternatif lain yang juga bisa dipakai agar informasi bisa diproduksi. Meskipun bukan dalam rupa jurnalistik, tanpa harus melibatkan jurnalis pula.

Tapi jurnalisme tetaplah jurnalisme. Peranan dan fungsinya harus terus berjalan, apapun tantangannya.

Pastinya, bila ingin tetap diakui keberadaanya, pada saat teknologi terus berkembang tiap jurnalis mustilah beradaptasi. Tapi tentunya tak cukup hanya mengandalkan optimalisasi klik dan logika viral semata. Jurnalis harus tetap mengedepankan kualitas, dan tak lagi mengandalkan cerita sensasional dari sumber-sumber sekunder.

Yang mengkhawatirkan adalah apabila jurnalisme terlalu jauh masuk ke ruang-ruang privasi seseorang. Diperparah dengan click bait dan kata-kata yang mengeksploitasi kecantikan, ataupun maskulitas, misalnya. Belum lagi karena adanya keterlibatan jurnalis dalam politik praktis. Partisan, begitu banyak orang mengistilahkannya. Mereka ikut menjadi buzzer. Mendengung kemana-mana di media sosial. Mengkomputasi pesan partisannya, dan mengarahkan opini publik.

Lantas, bagaimana publik akan percaya akan objektivitasnya? Padahal jurnalisme sangat berkaitan erat dengan kepercayaan publik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: