DISWAY: Nasib Imran
Imran memang orang baru di politik. Ia \'\'hanyalah\'\' atlet nasional dari cabang olahraga paling populer di Pakistan: kriket. Di masa Imran jadi pemain nasional Pakistan berhasil menjadi juara dunia. Namanya sangat harum –dengan konsekuensi gosip soal wanitanya juga sangat meriah.
Ia tidak membuat partai baru. Imran justru masuk partai lama, partai tengah, yang menerimanya sebagai pemimpin baru. Sebagian rakyat yang sudah muak dengan persaingan dinasti di sana pindah memilih PTI. Pemilu 2018 pun dimenangkannya. Dapat kursi 155. Untuk Pakistan yang multi partai, menang dengan 155 kursi itu sudah istimewa. Tinggal cari 17 kursi untuk membangun koalisi.
Di awal pemerintahannya Imran terasa sangat sejuk. Ia ingin mengakhiri konflik abadi Pakistan dengan India –sesama negara pecinta kriket.
Ketika pesawat tempur India memasuki wilayah Pakistan –dan pesawat itu jatuh– Imran langsung memulangkan pilot militer itu. Ia merasa punya banyak teman sesama pemain nasional kriket di India.
Ia juga meneruskan pembangunan jalan khusus –jembatan layang– dari India menuju Pakistan. Itu untuk menghubungkan wilayah India dengan sebuah tempel agung agama Sikh yang dibangun di wilayah Pakistan. Itulah tempel Guru Nanak yang dianggap sangat suci. Tempel itu berada di negara Islam Pakistan karena dibangun sebelum dua negara itu berpisah. Dengan demikian umat Sikh di India bisa sembahyang di tempel itu –seperti tidak ke luar negeri.
Waktu ke India sebelum pandemi, saya melihat jalan layang itu hampir selesai. Dari wilayah India saya bisa memotret tempel Sikh di negara Islam Pakistan –hanya sepelemparan batu, begitu dekatnya.
Imran juga menjalin hubungan dengan Afghanistan. Termasuk saat Taliban berkuasa kembali. Ini membuat Amerika marah: Pakistan telah jadi tempat bersembunyi tokoh-tokoh Taliban.
Hubungan Pakistan dengan Arab Saudi juga sangat mesra. Pun dengan Qatar dan Uni Emirat Arab.
Imran ternyata juga meneruskan kebijakan Perdana Menteri Nawaz Sharif: menjalin hubungan ekonomi yang sangat kuat dengan Tiongkok. Begitu banyak proyek Tiongkok di Pakistan. Begitu sering Imran ke Beijing.
Amerika sangat tidak happy dengan Imran.
Maka secara terbuka Imran menuduh mosi tidak percaya di parlemen itu didalangi oleh Amerika. Ia membuka nama diplomat Amerika yang menjadi dalangnya. Imran memang merasa tidak mendapat dukungan dari militer –yang selalu lebih pro ke Amerika.
Kini Pakistan kembali memasuki masa tidak menentu. Imran pun ternyata sama: tidak bisa menjadi pemimpin satu periode penuh lima tahun. Belum pernah ada. Dalam sejarah Pakistan yang sudah 75 tahun memisahkan diri dari India semua pemimpinnya berhenti atau mati tertembak di tengah jalan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: