DISWAY BARU

Wise Journalism

Wise Journalism

Herri Novealdi-Ist-

Sebagai seorang jurnalis mereka mempertimbangkan apakah hal itu baik atau tidak bagi publik dan nilai-nilai kemanusiaan. Tugas seorang jurnalis bukan sekadar melaporkan, tetapi menyejukkan dan menuntun publik untuk memahami makna di balik fakta. Di samping itu, mereka pun yakin bahwa berkaitan keberlanjutan praktik jurnalistik dan media massa bukan bergantung pada seberapa sering berita diklik, tetapi sejauh mana dia bekerja secara profesional dan seberapa besar ia dipercaya publik.

Sebagaimana diingatkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam kaitannya dengan elemenen jurnalisme, bahwa 1). Kewajiban pertama adalah pada kebenaran; 2). Kesetiaan (loyalitas) jurnalisme adalah kepada warga; 3). Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi; 4) Para praktisinya (jurnalis atau wartawan) harus menjaga independensi dari objek liputannya: 5). Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen kekuasaan; 6). Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi; 7). Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan; 8). Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional; 9). Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya, dan 10). Warga juga punya hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang berkaitan dengan berita. 

Antara wise journalism dan wild journalism sejatinya adalah antara nurani dan nafsu, antara tanggung jawab dan ketergesaan. Di era ketika semua orang bisa menjadi penyampai berita, peran jurnalis profesional semakin penting. Mereka bukan sebagai pelari tercepat, tetapi sebagai penjaga makna.

Wise journalism mengembalikan jurnalisme ke akarnya sebagai penjaga nurani publik. Jurnalisme yang baik bukan hanya yang tahu banyak, tetapi yang tahu kapan harus berhenti, mendengar, dan memahami. 

Itulah wise journalism. Seperti di dalam seloko Jambi: ambil benih campaklah sarap: ambillah sesuatu yang baik dan bermanfaat, tinggalkan sesuatu yang tidak baik. Tau mano alur, mano patut yang artinya kita harus tahu bagaimana harus melangkah atau bagaimana sebuah proses akan berjalan. Kita harus tahu apa yang pantas, layak, atau sesuai untuk dilakukan dalam konteks situasi, waktu, dan tempat tertentu, sejalan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi. (*) 

*) Mantan jurnalis dan kini menjadi dosen di UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dan Ahli Pers Dewan Pers. Semasa menjadi jurnalis pernah menjabat Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jambi. Kini sedang tertarik menulis tentang hukum dan etika pers, serta perkembangan media massa di era digital.

 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait