Oleh: Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M
Awal tahun 2025 Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dalam sebuah pidato ia mengusulkan rencana kontroversial untuk “mengambil alih” Jalur Gaza dan merelokasi sekitar dua juta warga Palestina ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Usulan itu sontak menuai penolakan, termasuk dari Jakarta, yang dengan tegas menolak skema tersebut karena dinilai melanggar kedaulatan rakyat Palestina dan berpotensi menghapus hak mereka atas tanah airnya.
BACA JUGA: Warga Jambi Full Senyum! Harga BBM Turun, Ini Harga Baru BBM di SPBU Berlaku Senin 11 Agustus 2025
Namun, beberapa bulan berselang, publik dikejutkan oleh pernyataan Presiden Indonesia yang menyatakan kesiapan menampung pengobatan warga Gaza di Pulau Galang, Kepulauan Riau. Secara moral, langkah ini tentu patut diapresiasi: sebuah misi kemanusiaan untuk merawat korban perang, sejalan dengan tradisi diplomasi kemanusiaan Indonesia.
Akan tetapi, di balik niat baik itu, mengemuka pula kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat menjadi “pintu masuk” bagi skema relokasi jangka panjang atau bahkan permanen, yang selama ini dikhawatirkan menjadi agenda terselubung sebagian pihak.
Isu Sensitif di Tengah Misi Kemanusiaan
BACA JUGA:Batal Diserahkan ke Pemkot, Gentala Arasy Tetap Dikelola Pemprov Jambi
Sejarah mengajarkan bahwa krisis kemanusiaan kerap dimanfaatkan untuk tujuan politik. Di balik operasi kemanusiaan ini, terdapat konteks geopolitik yang rumit: Amerika Serikat dan Israel secara terang-terangan memiliki kepentingan untuk menguasai atau bahkan menganeksasi Gaza dan Tepi Barat.
Bagi sebagian pengamat, tawaran relokasi sementara ke luar Palestina kerap dilihat sebagai bagian dari strategi “relokasi terselubung” yang perlahan menghapus klaim rakyat Palestina atas tanah mereka.
BACA JUGA:Warga Jateng Full Senyum! Harga BBM Turun, Ini Harga Baru BBM di SPBU Berlaku Senin 11 Agustus 2025
Karena itu, jika Pemerintah Indonesia tetap melaksanakan rencana evakuasi medis warga Gaza ke Pulau Galang, maka harus ada langkah-langkah yang tegas, transparan, dan sesuai hukum internasional untuk memastikan bahwa operasi ini murni misi kemanusiaan, bukan bagian dari skema politik yang berbahaya.
Legitimasi Hukum Internasional
BACA JUGA:Ketum KONI Pusat Hadiri dan Apresiasi Tournamen Catur JBC CUP 2025
Secara hukum internasional, landasan legitimasi misi kemanusiaan ini cukup kuat, setidaknya jika memenuhi empat kerangka hukum utama: 1) Piagam PBB Pasal 1 Ayat (3), Mengamanatkan kerja sama internasional dalam memajukan hak asasi manusia dan menyelesaikan masalah kemanusiaan internasional, 2) Konvensi Jenewa I (1949) dan Protokol Tambahan I (1977), Mengatur perlindungan korban perang, termasuk kewajiban negara untuk memberikan perawatan medis bagi korban konflik bersenjata, 3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Pasal 6 dan Pasal 12, Menjamin hak untuk hidup serta kebebasan bergerak, termasuk untuk evakuasi medis atas persetujuan individu dan pemerintah yang sah, 4) Resolusi Majelis Umum 194 (1948) yang menjamin rights to return bagi pengungsi Palestina dan Resolusi Majelis Umum 3236 (1974) yang menegaskan Kembali hak rakyat Palestina atas tanah dan harta benda mereka.
Dengan demikian, selama pasien atau korban perang tersebut datang atas persetujuan resmi Pemerintah Palestina, diperlakukan sesuai standar kemanusiaan, dan dipulangkan setelah pulih, maka langkah ini tidak hanya sah menurut hukum internasional, tetapi juga mendapatkan legitimasi moral yang tinggi.