Untuk menjalankan itu semua, sejumlah strategi perlu disiapkan untuk mendukung pembelajaran yang bermakna, di antaranya dengan mengembangkan model matematis, memberi ruang kontribusi peserta didik, interaksi aktif dalam diskusi, serta menjalin koneksi antar-topik.
Guru sebagai Fasilitator
Di sini, guru bukan lagi sekadar pengajar rumus, tetapi fasilitator nilai. Sehingga, pendidik memerlukan dukungan dalam bentuk pelatihan dan modul pembelajaran yang mengintegrasikan konten pelajaran dengan nilai-nilai kebangsaan.
Pembekalan sistematis dan modul pembelajaran yang mengaitkan semua mata pelajaran dengan nilai moderasi beragama bisa menjadi solusi aplikatif. Hal ini akan menuntun guru untuk mengajarkan materi sekaligus juga membentuk karakter dan nilai kemanusiaan peserta didik.
Jika ruang kelas dapat menjadi tempat tumbuhnya toleransi, maka sekolah akan benar-benar menjadi wahana mencetak generasi cerdas sekaligus berkarakter. Dan matematika, pelajaran yang selama ini dianggap jauh dari urusan kemanusiaan, ternyata bisa menjadi jembatan menuju bangsa yang damai dan bersatu.
Intoleransi tidak tumbuh dalam ruang kosong. Ia kerap tumbuh dalam ruang-ruang belajar yang gagal mengajarkan empati. Maka dari itu, sudah waktunya para pendidik mengubah cara mengajar. Karena sesungguhnya membagi “apel” secara adil hari ini, bisa melahirkan pemimpin yang adil di masa depan. (*)