Eksistensi Lembaga Penyelenggara Pemilu Pasca Pemilu & Pilkada

Jumat 27-12-2024,07:39 WIB
Editor : Setya Novanto

Jika KPU dan Bawaslu dibentuk menjadi lembaga ad hoc, ada risiko penyelenggara pemilu bisa diganti sesuai kondisi politik tertentu. Hal ini berpotensi mengurangi independensi serta meningkatkan potensi politisasi penyelenggara pemilu.

Proses ini membuka peluang terjadinya politisasi dalam pemilihan anggota KPU. Pasalnya, DPR sebagai lembaga politik berpotensi mendahulukan kepentingan parpol/fraksi tertentu dalam proses seleksi. Padahal, fondasi utama KPU adalah independensi sebagai lembaga penyelenggara pemilu.

Menurut hemat saya, ketimbang mempersoalkan eksistensi KPU, akan lebih baik jika pemerintah dan DPR menata ulang jadwal pemilu. 

Berkaca penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024, beban kerja KPU dan Bawaslu menumpuk lantaran pemilu nasional dan lokal digelar berbarengan. 

Oleh karena itu,saya lebih sepakat mengubah dan merekonstruksi ulang penataan jadwal itu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal. Karena, ternyata nyaris tak ada negara demokrasi di dunia, yang menserentakan pemilunya seperti Indonesia saat ini, padahal eksistensi pembelajaran demokrasi adalah hal yang harus terus menerus, melalui pemilu sela seperti dulu.

Sebagai tambahan, Perludem, telah menawarkan agar pemilu dilakukan dua gelombang. Pemilu nasional yang terdiri dari pilpres, pileg DPR RI dan DPD RI diselenggarakan secara terpisah dengan pemilu lokal yang terdiri dari pilkada dan pileg DPRD. 

Penataan penjadwalan itu jauh lebih tepat dan jauh lebih baik untuk memperbaiki sistem pemilu di Indonesia agar pelaksanaan pemilunya bisa lebih tertib dan lebih profesional dan lebih efisien. Artinya KPU dan Bawaslu harus dipertahankan sebagai lembaga permanen jika pemilu nasional dan lokal dipisah. (*)

 

*) Penulis Adalah Dosen Fakultas Syariah UIN STS Jambi dan Koordinator Jaringan Demokrasi (JaDI) Provinsi Jambi.

Kategori :