Oleh: Syahmardi Yacob
Di tengah gempuran globalisasi dan digitalisasi yang semakin mengikis berbagai aspek kehidupan, perguruan tinggi di Indonesia kini menghadapi tantangan moral yang serius—erosi etika akademik. Ironisnya, lembaga yang seharusnya menjadi benteng pengetahuan dan moralitas ini justru menunjukkan tanda-tanda keretakan etik di kalangan mahasiswa, dosen, serta tenaga pendidikan. Masalah ini bukan hanya mengganggu kredibilitas lembaga, tetapi juga mempertanyakan kualitas lulusan yang dihasilkan.
Erosi Etika: Dari Plagiat hingga Korupsi Akademik
Praktik plagiarisme semakin marak dan terang-terangan, sering kali dilakukan tanpa rasa takut akan konsekuensi. Di sisi lain, para dosen—yang seharusnya menjadi role model integritas—tidak jarang terlibat dalam manipulasi data penelitian atau penerimaan mahasiswa yang tidak berdasarkan merit. Hal ini diperparah dengan adanya tenaga pendidikan yang terlibat dalam korupsi, mulai dari pengaturan nilai hingga penerimaan proyek penelitian fiktif.
Sebuah studi oleh Transparency International Indonesia (2019) mengungkapkan bahwa sektor pendidikan masih dihantui oleh korupsi dan praktik tidak etis lainnya yang berpotensi menghambat kemajuan pendidikan di negara ini. Fenomena ini mencerminkan krisis moral yang mendalam dan membutuhkan introspeksi serta tindakan nyata dari semua pihak terkait.
Faktor Pendorong Erosi Etika
Penurunan etika akademik seringkali dipicu oleh beberapa faktor. Tekanan untuk bersaing di kancah internasional mendorong perguruan tinggi untuk fokus pada kuantitas publikasi dibandingkan kualitas, menciptakan budaya 'publish or perish' yang tak kenal ampun. Selain itu, sistem pengawasan yang lemah dan kurangnya sanksi yang tegas atas pelanggaran etika menjadi faktor lain yang memperburuk situasi.
Langkah Menuju Reformasi Etika Akademik
Untuk mengatasi masalah ini, perguruan tinggi perlu mengambil beberapa langkah strategis. Pertama, memperkuat kode etik akademik dan memastikan bahwa semua pihak memahami dan mengimplementasikannya. Ini bisa dilakukan melalui orientasi etika bagi mahasiswa baru dan pelatihan berkelanjutan untuk dosen serta staf.
Kedua, perguruan tinggi harus menerapkan sistem pengawasan yang lebih efektif dan transparan, dengan teknologi modern seperti perangkat lunak anti-plagiarisme dan audit berkala terhadap proses akademik. Ketiga, perlu adanya kultur yang mendukung keterbukaan dan kejujuran, dimana mahasiswa dan dosen dapat melaporkan ketidakadilan atau pelanggaran tanpa takut akan pembalasan.
Kesimpulan: Kembali ke Nilai Inti Pendidikan