9. Kendeng 30,64 giga ton;
10. West Natuna 13,15 giga ton;
11. Barito 12,05 giga ton;
12. Seram 11,58 giga ton;
13. Pasir 10,36 giga ton;
14. Salawati 8,75 giga ton;
15. West Java 7,22 giga ton;
16. Sunda Asri 6,52 giga ton;
17. Sengkang 4,31 giga ton;
18. Bintuni 2,13 giga ton;
19. North Serayu 1,55 giga ton; dan
20. Bawean 1,16 giga ton.
Seiring dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, dimungkinkan untuk terjadinya karbon cross border. Tutuka menjelaskan bahwa kapasitas domestik untuk penyimpanan karbon tetap menjadi prioritas utama, dengan besaran 70% dari kapasitas penyimpanan karbon nasional. Sedangkan kapasitas sisanya, atau 30%, diperuntukkan untuk karbon cross border.
Namun, dalam skema karbon cross border, urainya, harus ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. "Pertama dilakukan adalah adanya MoU antar negara, atau bilateral dulu, baru disitu ada turunannya kerja sama B to B (Business to Business). Kemudian diatur pula emitter penghasil carbon yang akan menyimpan emisinya di indonesia ini harus mempunyai investasi atau terafiliasi dengan investasi di Indonesia," pungkasnya. (*)