Oleh: Wawan Dinawan*
PAGI itu, akhir tahun 2012, saya terbangun. Saya tidak tahu dimana. Signal pada saat itu belum terlalu baik.
Yang saya lihat hanya ada perumahan, sebuah masjid dan gereja, sebuah lapangan sepak bola, dan pohon-pohon kelapa sawit yang mengelilingi fasilitas itu.
Waktu itu hari libur, jadi saya belum memasuki kantor baru. Yang saya tahu, saya ada disebuah tempat di Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat.
Saya berkeliling kebun kelapa sawit hari-hari berikutnya. Baik kebun yang dikelola oleh perusahaan tempat saya bekerja maupun kebun kelapa sawit yang dikelola sendiri oleh masyarakat. Saya bertemu dengan petani-petani disana. Sebagian besar berbahasa Jawa, Bugis, dan Mandar. Ada juga yang berasal dari NTT dan NTB.
Saya penasaran, bagaimana mereka bisa datang ke tempat yang jauh ini? Tempat yang pada tahun itu masih kekurangan fasilitas. Listrik saja tidak ada. Mereka harus menggunakan fasilitas genset pribadi atau kelompok agar dapat menikmati listrik dengan nilai uang yang cukup besar. Sebagian besar jalan juga masih berupa tanah perkerasan.
Para petani hadir dari program transmigrasi. Dengan alasan ekonomi, mereka rela berpetualang mengarungi lautan dengan ketidakpastian. Selama berminggu-minggu, mereka merengkuh asa. Sesampainya pada pulau tujuan, penderitaan tidak berhenti. Tak ada jalan. Mereka masuk dengan perahu klotok. Pun, sampai lokasi yang dijanjikan, jalanan belum baik. Lumpur dari rawa menghadang. Jangankan mereka, alat-alat perusahaan yang tengah membangun jalan dan kebun mereka pun bisa terperosok.
Mereka dibagi beberapa satuan pemukiman. Ada yang dekat dengan masyarakat asli daerah tersebut, ada juga yang jauh. Masing-masing petani mendapatkan rumah sangat sederhana berbahan kayu. Luasnya kecil. Hanya saja pekarangannya sampai seperempat hektar. Pekarangan itu yang dijadikan mereka untuk menanam sayuran dan beternak untuk bertahan hidup. Kebun yang dijanjikan juga belum jadi; masih dalam pengerjaan perusahaan inti.
Tidak tahan dengan situasi itu, sebagian petani plasma kembali ke daerah asalnya. Sebagian lagi bertahan dengan harapan masa depan dari kebun kelapa sawit yang telah berkembang terlebih dahulu di Sumatera. Bagi yang bertahan, jatah hidup yang dibagikan pemerintah selama beberapa tahun adalah penolong. Gulita malam dan kurangnya fasilitas dan infrastrukur mereka nikmati sejak 1990.
Perlahan petani plasma mendapatkan hasil. Jalan yang dibangun perusahaan mulai membaik. Mereka mulai merasakan kesejahteraan. Ada yang mulai membeli sepeda, lalu sepeda motor, bahkan mobil.
Masyarakat asli mulai tertinggal. Tapi semangat mereka untuk bangkit sangat besar. Tidak mau kalah, mereka akhirya menanam kelapa sawit juga dengan bantuan perusahaan maupun dengan biaya mereka sendiri. Perlahan, mereka juga bisa menikmati sepeda sampai mobil.
BACA JUGA:Beli Sawit RI Banyak Kali Aturan Uni Eropa, Luhut: Kita Alihkan ke Afrika
Kini, wilayah itu mulai maju. Infrastruktur jalan dan jembatan sudah baik. Laut yang dulu dilalui berhari-hari, kini ditinggalkan oleh jalan yang hanya ditempuh selama empat jam dari Bandara Sis Al-Jufri, Palu. Listrik sudah masuk sampai pelosok terjauh. Pun dengan signal internet yang kini sudah 4G.
Mereka yang bukan petani pun kini hidup. Dari pedagang besar sampai tukang bakso yang berkeliling desa. Kucuran ekonomi sampai juga pada nelayan-nelayan yang menjajakan ikan segar. Pun pengerajin alat-alat pertanian mendapatkan untung.
Ya, perjuangan petani kelapa sawit era 1990an di daerah itu, telah mendapatkan kemerdekaannya. Kegigihan menghasilkan kesejahteraan.