“Saya nggak mau beli apa – apa lagi mbak, nggak juga mau beli pulsa, nggak juga mau beli barang yang lain. Sisa uangnya gak apa – apa kak, saya sumbang aja.” Juandra semakin meringis sebab menahan rasa sakit, “Bisa saya ambil barang saya sekarang mbak?” Raut Juandra terlihat sedikit kesal, nada bicaranya memburu, wanita yang bertugas sebagai kasir itu tergopoh – gopoh memberi barang yang dibeli Juandra.
“Terimakasih dan kembali lagi ya, Kak.” Juandra tersenyum tipis menanggapinya, dan duduk di depan kursi panjang Indomaret itu. Kapas, betadine, dan etanol kini terletak di hadapannya. Ia keluarkan kamera hapenya, kemudia mulai membersihkan lukanya pelan. “Cewek gila, badan aja kecil tapi tenaga banteng. Sial banget!” Juandra kembali mengingat saat pukulan perempuan yang menumpahinya kuah bakso itu melayang ketika ia berbalik mendengar namanya, bahkan Juandra tidak sempat merespon apapun setelahnya, selain ambruk dengan kepala yang pengang menahan rasa sakit.
Selagi fokus memberi penolongan pada lukanya, dua orang dengan jenis kelamin berbeda menghampirinya. Keduanya tertawa terkikik, dan meringis sesekali saat Juandra memberi etanol pada lukanya. Bunyi deritan kursi yang ditarik terdengar nyaring diantar deru kendaraan jalanan yang melintas.
“Sakit?” Wanita dengan rambut pendek bertanya sembari meneliti luka Juandra.
“Pikir ajalah, menurut lo kalo tangan lo dipotong sakit nggak?” Sewot Jaundra.
“Padahal rencana kita mau comblangin lo sama dia masih dua hari lagi.” Pria yang datang dengan wanita berambut pendek itu menimpali, tersenyum menggoda melihat Juandra.
“Dia? Siapa?” Tanya Juandra bingung.
“Cewek yang nonjok lo.” Jawab Pria tersebut.
“Yaps, Arsena.” Lanjut sang wanita.
“Arsena?” Juandra semakin tidak paham yang membuat kedunya kompak menggelangkan kepala tak habis pikir.
“Sekarang gue percaya, beberapa orang lahir pintar saat akademis, namun nggak buat kehidupan.” Ucap Pria itu dramatis yang direspon Juandra dengan tatapan heran. Bahkan jika dibandingkan, Pria itu jauh lebih aneh dari dirinya.
“Dan gue percaya, aslinya Juandra itu cuma menang di hoki aja, jenius apaan yang gini aja susah banget pahamnya.” Wanita itu menatap Juandra kasihan dengan mata berkaca – kaca. Raut kasihannya membuat Juandra yang melihatnya muak.
“Sebelum berbicara lebih baik berkaca!” Sekali tembak dua burung, keduanya kompak terdiam dengan senyum lebar yang dipaksakan.
“Bah, sensitif kali lah abang kita ini!” Sang Pria merangkul pundak Juandra yang segera dtepis olehnya.
“Kepala lo noh yang sesntif kali!” Andai tak ingat bahwa Pria ini calon anggota keluarganya, mungkin Juandra tidak akan segan untuk setidaknya melayangkan satu bogem mentah padanya. Pertengkaran kedunya direspon dengan tawa puas oleh Wanita yang mendengarkan sedari tadi.
“Ju?” Panggil wanita itu menatap Juandra lekat, tersenyum tipis kemudia menepuk kepala Juandra pelan, “Kata maaf itu mahal banget, makanya nggak semua orang bisa bilang maaf. Tapi bukan berarti ada yang sering bilang maaf itu maafnya udah nggak lagi nggak berguna, kita ini nggak bisa menyamakan semua isi hati manusia. Kadang – kadang ada yang bingung buat rusuh di hatinya itu reda dari kata maaf yang banyak ia ucapin. Lo paham maksud gue kan?”