“Hiatuskan Sana dengan kisah sedihnya, dan Ayo cinta Abian-Tata bersama kisah pluffy-nya”
-Era Baru, untuk kita generasi muda-
>>>***<<<
Tata itu mudah sekali jatuh cinta, hingga ia dijuluki wanita si fakir afeksi. Awal – awalnya kata – kata itu terasa memojokkan dan merendahkannya, tak luput dari hati dan telinganya. Hingga ia menerima, lontar kata itu kini menjadi seringkali yang sering mengundang tawa.
yamaha--
Jika candanya dulu—Enaknya speak husband kayak suh johnny nyarinya dimana ya—kini jadi—Kali ini gandengan yang mana lagi, Ta?—itu dulu, sebelum seorang Abian datang, memporak porandakan hatinya tanpa tapi, memberinya sebuah rasa yang nyata, sulit, hingga ia takut, bagaimana nanti jika Abian-nya tidak ada?
Nama laki – laki yang pernah menyandang tentu lebih dari satu, Tata tidak pernah menampik fakta. Tapi ia juga bukan rendahan yang mau selalu diajak kesana kemari dan diperlakukan semena – mena, hidupnya tidak melulu bahagia dan mulus saja bersama kekasihnya, layaknya pasangan pada umumnya, dipikir saja bagaimana dua manusia yang belajar untuk saling mengenal lebih dalam, tersandung dan terjatuh tentu menjadi hal lumrah. Sayang, seringkali Tata itu naas, alkisah menjadi suka setelah duka, yang terjadi nyatanya adalah duka tanpa tepian. Awalnya ia ratukan, kemudian ia diinjak serendah – rendahnya kala menolak permintaan sang sandaran, sampai kapanpun Tata bukanlah murahan. Hingga ia putuskan untuk berhenti, dibanding dipinang untuk menjadi ratu di kerajaan lain, ia bangun kerajaannya sendiri, bertekad menjadi ratu dengan usahanya sendiri.
Sepi, Tata terbiasa manja, mendengar kata manis dari orang – orang yang dulu menjadi kekasihnya. Malam minggu yang biasa ia habiskan mengelilingi Jakarta sembari berbagi rasa penat dan lelah, kini menjadi ia sendiri dengan tumpukan pekerjaan yang tiada henti. Ia frustasi, tapi menangis rasanya juga sia – sia, sesaknya tak tertutupi hingga ditengah rentetan peristiwa sial hidupnya, ia temukan Abian layaknya sang pangeran penyelamat. Meningatnya Tata tidak tau harus tertawa atau menangis, penampilannya tidak dapat dikatakan layak, rambutnya kusut, wajahnya kusam, dan Tata yakin maskaranya sudah luntur di matanya, mengingat make-upnya kini bukan lah makeup biasanya yang ia pakai berlabel waterproof. Heelsnya tidak lagi ia gunakan, ia menopang tubuhnya di samping tong sampah. Abian disana berdiri dengan wajah bingungnya.
“Apa lo liat – liat?!” Tata sensi, pada siapa saja yang menatapnya dengan netra penuh arti. Sebab nantinya ia harus menebak – nebak kembali, pikiran semacam apa yang diberikan orang – orang untuknya.
“Saya? Nggak ada manusia lain yang bisa saya lihat selain mbak,” Dingin, nada dingin itu terasa memuakkan bagi Tata.
Tata berdecih, “Siapa yang bilang saya manusia? Saya setan tau!” Kesal Tata, ia melempar heels-nya pada Abian yang saat itu belum ia kenali, yang sialnya bukannya mengenai Abian, satu – satunya sepatu terlayak yang ia miliki malah bergabung dengan kubangan sampah yang dipandangi Abian dengan miris dan ringisan.
Tata merasapan tepukan simpati di bahunya, “Selamat ya mbak setan…” Ucap Abian, kalimatnya terjeda sebentar, senyum kecil terlukis di wajahnya, simpati yang terlalu kentara pura – puranya, “Selamat bau sampah nantinya,” Lanjut Abian, meninggalkan Tata sendirian.
“DASAR MANUSIA NGGAK PUNYA PERASAAN!” Teriak Tata memaki Abian yang semakin jauh. Hari itu Abian memberinya pelajaran, bahwa semesta tidak hidup untuknnya, tapi ialah yang hidup untuk semesta. Abian memberi kesan mendalam, tidak semua manusia memiliki perasaan, ia bisa kapan saja ditinggalkan. Abian menyelamatkannya tentang sebuah visi kedepannya, tapi Tata tidak akan pernah lupa perlakuan sialan itu, Abian itu pangeran, tapi julukan pangeran apa yang harus Tata sematakan, toh, ia menemukan Abian di tempat pembuangan.
“Jangan tawa – tawa sendiri, pulsaku nggak ada buat nelpon RSJ” Ujar Abian menghampirinya. Benar bukan, penilian Tata tidak pernah salah, pangeran apa yang bermulut sialan seperti Abian!
“Kenapa nggak suka?!” Balas Tata, Abian menggeleng pelan sebelum lanjut makan. “Suka, cuma kamu yang bisa, gilapun masih buat aku cinta.”