“Ada rasa yang tak bisa kita gambarkan, ada cinta tapi tak benar dapat dikatakan cinta, kadangkala rasa itu datang bukan untuk menyapa, melainkan mengingatkan, apa yang ada bukan berarti hanya kamu yang punya”
-Reno, Gue kangen Riana deh kalo gini :( -
Riana selalu menarik untuk diulik, tapi Reno Aditama adalah pribadi yang unik, yang katanya, siapapun yang mengenalnya tidak ada yang tidak akan jatuh cinta. Pria penuh pesona, dermawan dan senyuman manis yang senantiasa baik dimata semua orang, kecuali Riana. Bagi Riana, Reno tidak lebih sama dengan laki – laki biasa yang ada sekitaran kompleknya, menyebalkan, usil dan sangat jahil kepadanya, bahkan jika dibandingkan dengan bocah laki – laki yang sering kali bermain petak umpet dengan teman – temannya di belakang pohon mangganya, sifat Reno jauh lebih kekanak – kanakan untuknya.
“Medusa, lo nggak seneng gitu gue jadi manager baru lo. Bangga dong lo punya orang dalem,”
Dari sekian lama mereka tidak berjumpa, tidak ada yang berubah dari Reno kecuali postur tubuhnya yang terlihat lebih dewasa dan wajahnya yang kini lebih tegas. Reno masih sama seperti dulu, masih sama dengan Reno yang lima tahun lalu, masih Reno dengan julukan Lucifernya.
“Gue punya nama!” Kesal Riana, “Nama gue Riana, bukan medusa. Dan kita nggak kenal!!” Putus Riana mutlak, meninggalan Reno yang tertawa jahil di pantry, bahkan Riana meninggalkan Cappuccino favoritnya begitu saja.
“Cappucino loh noh, ambil dulu. Nggak hidup entar lo,” Teriak Reno yang membuat Riana semakin kesal. Lima tahun bukan waktu yang singkat, lalu mengapa Riana tak temukan sedikitpun perubahan dari Reno. Pria itu masih sama manisnya saat ia tersenyum dan mengingat segala hal tentang dirinya. Dan yang membuat Riana lebih kesal lagi, Reno melampui dirinya, mereka ada di garis start yang sama, lalu mengapa begitu sulit bagi Riana untuk mencapai finishnya saat Reno sudah memutarinya berulang kali hingga Riana muak dan merasa dirinya sangat tolol.
“SOK TAU LO!” Langkah yang berani bagi Riana meneriki atasannya sendiri di tengah kerumanan rekan kerjanya yang menatap mereka begitu penasaran. Riana bersembunyi dibilik mejanya, menyembunyikan wajah memerah juga air matanya yang ingin tumpah tiba – tiba, Riana kesal, tapi tidak benar kesal – kesal, Riana bahagia, hanya saja bahagianya terasa hampa.
Hanya butuh seperkian detik bagi Reno, untuk memporak – porandakan hati Riana. Sedang Riana, bahkan setelah 12 tahun, Reno masih saja bukan miliknya.
>>>***<<<
Reno menatap Riana dengan tatapan yang tak terbaca, ada banyak kata dan jumpa yang ingin ia ulangi bersama wanita yang sudah menjadi teman sepermainannya itu sejak lama. Gadis pemarah yang selalu saja mampu membuat orang di sekitarnya tertawa, ternyata lima tahun tidaklah sesingkat yang ia perkiran, banyak yang berubah dari mereka, bahkan Reno seperti merasa kehilangan Riana yang sesungguhnya.
“Lo nggak suka, tapi natapnya kok penuh perasaan.” Itu Budi, siapa bilang hanya Riana yang mengenal Reno, diam – diam walau Budi termasuk manusia setengah waras bersama Riana dan Sandra, Budi memiliki relasi di luar dugaan, bahka jika Budi mau, bekerja di perusahaan seperti ini tanpa perlu kerja keras sangat gampang untuk Budi. Namun, kekukasaan tidak menjamin segalanya bukan?
“Gue nggak suka, lo tau kan Budi, mau sampai kapanpun kita nggak akan ada yang berubah dari kita.” Layaknya membaca puisi paling sedih, Reno menatap ruangannya hampa dan sendu. Menghayati setiap momen kelabu yang ia ciptakan pelan – pelan.
“No! Lo belok?!” Kaget Budi menampar bahu Reno kuat, yang langsung membuat Reno memeloti Budi dengan wajah bringas.
“Lo pikir tangan segede kebo gitu nggak sakit?!” Kesal Budi, biru di hatinya seolah sirna, ubun – ubunnya panas, emosinya memuncak hanya karena seperkian detik perlakuan Budi. “Ssh...panas nih bahu gue!” Reno mengusap bahunya berkali – kali, meredakan rasa perih dan juga nyeri akibat Budi.