“Ayo perbaiki, tidak semua yang disesali hanya untuk diratapi, sebagian darinya butuh aksi, untuk mengawali yang telah lalu”
-Manusia,
Aku pulang, tepat saat purnama bersinar terang, jatuh pada hari ulangtahunku, sudah delapan belas saja, tidak terasa angka emas dalam remajaku telah usai, waktu terasa sangat cepat, rasanya banyak hal berlalu, namun tak sedikitpun tertinggal untuk ku dalami lebih jauh. Hanya tinggal beberapa langkah lagi, aku akan sampai di rumah. Rasanya berat untuk kembali bertemu mama, jam sudah menunjukkan angka nol sejak aku melakukan perayaan kecil bersama Agana. Apa mama akan menungguku dan mengkhawatirkanku? Apa mama mengingat hari ini? Atau apa mama akan benar – benar meninggalkanku? Membiarku sendirian? Banyak hal yang kupertanyakan, hingga langkahku terhenti di teras rumah.
“Sean,” Suara lirih itu menusuk gendang telingaku, aku masih tertunduk, suara yang tak akan pernah gagal kukenali, suara mama. Aku dapat mendengar mama terisak, aku masih mematung mempertahankan langkahku, mematung ditempatku berdiri, dapat kurasakan langkah mama mendekatiku.
“gantengnya mama, selamat ulang tahun ya sayang,”
Aku mengangkat wajahku, mama berdiri dengan kue sederhana di tangannya, disana tertancap angka satu dan delapan, usiaku saat ini. Mama menangis, namun kudapati rasa syukur yang teramat besar di raut wajahnya.
“Semoga anak mama yang ganteng ini bisa maafin mama hari ini, semoga anak mama yang nakal ini selalu bahagia walau tanpa mama,”
Aku menangis keras memeluk mama, “Sean bakal bahagia kalo cuma sama mama,” karena tersentak mama tidak sengaja menjatuhkan kuenya, namun aku tak peduli yang kubutuhkan saat ini hanya Mama.
“Anak mama masih kecil ternyata, kalo ngambek sama mama ngacemnya minggat dari rumah,” Ujar Mama mengusap punggungku setelahnya memukulku pelan sambil tertawa. “dan masih sama omong kosongnya bisa hidup sendiri tapi akhirnya balik ke mama,” Lanjutku dengan tawa pelan, aku merasa ingus dan air mataku mengotori pakaian mama, namun kubiarkan, kali ini aku ingin dengan mama, memperbaiki segalanya sedari awal.
“Sean, maafin mama sayang,”
“Maafin Sean ma,”
***
Bus akhirnya berjalan setelah beberapa lama terhenti, kali ini aku merasakan sesak, sebab bus yang kunaiki tidaklah lagi sama seperti tahun lalu, kali ini ramai warna mewarnai, bisingnya manusia yang mengeluh, tertawa, ataupun tengah bersedih berbaur menjadi satu padahal pagi masih belum lama menyapanya. Sesekali kudapati senggolan tak sengaja dari mereka, sebagian mengatakan maaf dengan raut bersalah, dan sisanya, kalian akan tau betapa angkuhnya manusia.
Rasanya seperti terlahir kembali sejak peristiwa malam itu, semuanya kembali mengulagi apa yang telah lalu, nyatanya tak semua yang sudah terlanjur tak bisa diperbaik, walau sedikit sulit, dengan langkah tertatih aku dan mama menjemput kehidupan kami yang lebih baik, bahkan kakakku Agasya tinggal bersama kami kembali, aku sangat bahagia saat pertama kali menjemputnya di bandara. Namun, sekarang aku tahu betapa menyebalkannya memiliki kakak perempuan, anak kedua mama itu ada saja akalnya untuk membuat hidupku sekarang terasa sengsara setiap harinya, jahilnya tidak ketulungan. Selain jahil, dia terus merepotkanku.
Seperti sekarang, di minggu pagi aku harus berangkat menuju kantornya, padahal aku bisa tidur hingga siang, beristirahat sejenak dari banyaknya tugas dan kegiatanku selama kuliah. Dering telponku kembali berbunyi dengan ID Caller ‘Kakak Cantik’. Aku memutar bola mataku malas, pasti Agasya sialan itu membajak ponselku kala aku tertidur.