Politik Hukum Sengketa Pemilukada

Jumat 21-09-2012,00:00 WIB
Oleh:

TRI CAHYA

INDRA PERMANA*

SENGKETA pemilukada tidak hanya menarik dikaji dari segi lembaga mana yang sebaiknya diberi kewenangan untuk mengadili sengketa itu. Tapi, yang lebih penting, lembaga tersebut nanti harus juga diberi kewenangan mengadili, baik sengketa awal yang saat ini menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) maupun sengketa akhir yang saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan demikian, diharapkan kekacauan hukum penyelesaian sengketa pemilukada dengan adanya dualisme kewenangan mengadili sengketa pemilukada bisa diakhiri.

Babak baru pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia dimulai melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan perubahan-perubahannya.

Terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008. Dalam pasal 56 ayat (1) disebutkan: Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Ketentuan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, khususnya dalam pasal 1 ayat (4) yang menyebutkan: Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara  kesatuan Republik Indonesia berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945. Dengan adanya ketentuan-ketentuan tersebut, pemilihan kepala daerah telah mengalami pergeseran rezim dari pilkada menjadi pemilukada. Karena itu pula, Mahkamah Konstitusi menjadi berwenang untuk mengadili sengketa pemilukada. Landasan operasionalnya adalah pasal 236 (c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyebutkan: Penanganan sengketa

hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang ini diundangkan.

Sementara itu, kewenangan PTUN ditegaskan dalam Surat Edaran Nomor

7 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Sengketa mengenai Pemilihan Umum

Kepala Daerah (Pemilukada). Surat edaran itu mengartikan keputusan

Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik di tingkat pusat maupun daerah,

mengenai ’’hasil pemilihan umum’’ yang tidak dapat dijadikan objek gugatan

di PTUN berdasar pasal 2 huruf g Undang-Undang Peratun adalah keputusan yang berisi hasil pemilihan umum sesudah melewati tahap pemungu tan suara yang dilanjutkan dengan penghitungan suara.

Artinya, sengketa awal seperti gugatan yang diajukan beberapa calon kepala

daerah terhadap KPUD –misalnya, calon kepala daerah diduga menggunakan ijazah palsu, tidak memenuhi syarat kesehatan, tidak memenuhi syarat dukungan bagi calon independen, atau pasangan calon kepala daerah meninggal– masih menjadi kewenangan PTUN untuk mengadilinya.

Tags :
Kategori :

Terkait