Raja Saleh
Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau.
INDONESIA terbilang sangat kaya dengan keberagaman bahasa yang dimilikinya. Dari 6000-an bahasa yang ada di dunia, 726 bahasa atau 12.1% di antaranya adalah milik bangsa ini. Namun sayang, 174 diantaranya berada dalam status terancam punah, sedangkan 14 bahasa telah dinyatakan punah. Bahasa- bahasa yang telah dinyatakan punah di Indonesia paling banyak di Maluku, yaitu 11 bahasa, sementara Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi masing-masing satu bahasa (Arif Rahman, 2007). Dengan kondisi separah itu, belum tampak upaya maksimal dari pemerintah untuk melindungi keberadaan 174 bahasa yang terancam punah tersebut. Sangat besar kemungkinan, semua bahasa yang berstatus terancam punah dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, akan berubah status menjadi punah. Penelelitianpenelitian
tentang kebahasaan pun jarang dilakukan. Masalah kebahasaan sering diabaikan pemerintah sehingga untuk melaksanakan kegiatan pembinaan, perlindungan, dan pengkajian bahasa, sulit dilakukan.
Tidak terkecuali di tanah Lancang Kuning ini, walaupun bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, yang memiliki sumbangan sangat besar terhadap khasanah bahasa Indonesia, namun bahasa Melayu sendiri pun tidak terawat dengan baik. Lajunya perkembangan teknologi dan informasi, terus diikuti oleh ketidakberaturan perkembangan dan perubahan penggunaan bahasa. Hal ini pun dengan leluasa mengikis karakteristik bahasa Indonesia, terutama bahasa-bahasa daerah. Kosa kata yang dulunya sangat mencerminkan karakteristik suatu daerah, sekarang mulai pudar.
Untuk menyebutkan sesuatu pun telah terjadi perubahan-perubahan konsep. Misalnya dalam dialek Kuantan Singingi, kelompok usia60-70 an tahun menyebut solowæ kotok, pada kelompok usia 30-40 tahun berubah menjadi solowæ pendek, dan pada kelompok usia 10-20 tahun berubah lagi menjadi celana pendek.
Mungkin 10 atau 20 tahun lagi, anak cucu kita akan menyebutnya short pants (celana pendek). Diketahui bahwa, celana pendek sudah merupakan bahasa Indonesia. Contoh lain perubahan konsep bahasa dalam dialek Kuantan Singingi
adalah, kelompok usia 60-70 an tahun menyebut tokelek, pada kelompok usia 30-40 tahun berubah menjadi torompa/sandal, dan pada kelompok usia 10-20 tahun hanya tinggal sandal. Mungkin 10 atau 20 tahun lagi, anak cucu kita akan menyebutnya dalam bahasa asing. Perubahan- perubahan seperti ini sangat banyak terjadi pada kosa kata-kosa kata dialek Kuantan Singingi dan tidak tertutup kemungkinan juga
terjadi pada bahasa daerah lain di Riau.
Kedua contoh di atas, merupakan perubahan konsep bahasa dalam dialek Kuantan Singingi yang disebabkan oleh perkembangan informasi dan teknologi. Manusia yang selalu berinteraksi dengan menggunakan bahasa, telah mengubah penyebutan atau pemberian simbol terhadap suatu benda. Tanpa disadari, secara berangsur dan terjadi terus-menerus, akhirnya terjadi suatu kesepakatan. perubahan konsep bahasa
juga dapat disebabkan oleh hilangnya suatu benda. Misalnya, dulu di Kuantansingingi masih terdapat buah borangen, tungou, dodok, dan lain-lain, tapi sekarang buah-buahan itu sudah sangat jarang bahkan bisa dikatakan tidak ada lagi. Otomatis, secara perlahan orang tidak akan lagi menyebut nama buah yang tidak ada lagi itu. Akhirnya, seiring perkembangan zaman kosa kata untuk nama buah tersebut pun akan hilang.
Dikhawatirkan anak cucu kita hanya akan mengenal buah strawberry dan jeruk yang mulai berubah menjadi orange. Selain itu, perubahan konsep bahasa juga dapat disebabkan oleh sikap inferior penutur bahasa itu sendiri. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suryaningsih (2012) bahwa bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik fan benar. Banyak para penuturnya masih dihinggapi sikap rendah diri. Mereka merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing walaupun sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Tanpa disadari, justru sikap seperti ini yang mengakibatkan terjadinya perubahan konsep atau pemberian simbol terhadap sebuah benda. Akibatnya, perbendaharaan kosa kata suatu daerah yang dihinggapi oleh gejala seperti ini akan semakin menipis.
Lajunya gerak perubahan konsep bahasa ini harus segera dihadang. Berbagai upaya pencegahan harus dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap kekayaan bahasa daerah khususnya di Riau. Semua pihak, terutama ilmuan dan praktisi kebahasaan bersama-sama dengan pemerintah daerah, harus segera mengambil langkah dan kebijakan. Seandainya terus diabaikan, besar kemungkinan dialek Ocu akan hilang, dialek Kuantan Singingi akan lenyap, dan dialek Rokan tidak akan ada lagi. Satu abad atau bahkan hanya 50 tahun yang akan datang, semua orang Riau hanya akan menggunakan bahasa Indonesia yang selalu dihiasi istilah-istilah asing, dan tidak ada lagi yang menggunakan bahasa daerahnya. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena saat ini pun sebagian besar anak-anak, apalagi di Pekanbaru, sudah menggunakan bahasa Indonesia, dan tidak lagi menguasai bahasa ibunya walaupun ayah dan ibunya berasal dari bahasa dan dialek yang sama. Untuk menghimbau masyarakat menggunakan bahasa daerahnya masing-masing, tentu sangat tidak mungkin dilakukan. Beberapa saran yang dapat penulis sampaikan melalui tulisan ini adalah, pertama, bahasa daerah harus
menjadi muatan lokal atau bahkan mata pelajaran inti di sekolah-sekolah dasar. Maksudnya, bahasa daerah tersebut disesuaikan dengan dialek masing-masing daerah. Di Kabupaten Kampar akan mempelajari dialek Ocu, di Kabupaten Kuantan Singingi akan mempelajari dialek Kuantan Singingi, di Kabupaten Siak akan mempelajari dialek Siak, di Kabupaten Rokan Hulu dan mungkin Rokan Hilir akan mempelajari dialek Rokan, dan seterusnya. Hal ini tentu sangat mungkin dilakukan karena di masing-masing sekolah dasar pada umumnya terdapat guru yang berasal dari dialek yang sama.
Kedua, peneliti dan praktisi bahasa diharapkan dapat melakukan penelitian-penelitian yang akan mengungkapkan kosa kata-kosa kata yang sudah jarang digunakan oleh penuturnya. Hal ini sangat bermanfaat untuk mendokumentasikan kosa kata-kosa kata yang mulai hilang dan sudah jarang digunakan penuturnya. Suatu saat, ketika kosa kata-kosa kata tersebut benar-benar tidak digunakan lagi, masih ada dokumentasi tertulis dalam bentuk penelitian. Penelitian yang dimaksudkan, tentu dapat dilakukan dari semua segi ilmu kebahasaan, seperti dari segi semantik, sintaksis, morfologi, sosiolinguistik, dan sebagainya. Ketiga, pemerintah daerah diharapkan dapat membuat kamus bahasa daerahnya sendiri.Setakat ini, Balai Bahasa Provinsi Riau bekerja sama dengan pemerintah daerah masing-masing telah menyusun kamus bahasa daerah Rokan Hilir, Kampar, dan Siak. Hal serupa diharapkan dapat dilakukan oleh kabupaten lain di Riau yang belum memiliki kamus bahasa daerahnya. Hal ini tentu akan dapat menjawab kesulitan anak cucu kita nantinya dalam memahami bahasa dan mencari arti dari sebuah kata bahasa daerahnya sendiri. Tidak dapat dipungkiri, bahwa anak-anak dan remaja bahkan dewasa walaupun tinggal di daerahnya dan menggunakan bahasa ibunya, banyak yang tidak mengetahui arti dan makna kosa-kata daerahnya sendiri karena kosa kata tersebut sudah jarang digunakan.