KISAH LAIN KUDETA POLITIK “AROK-DEDES”
JAFAR AHMAD
“Tunggul Ametung, sang penguasa Akuwu Tumapel yang memperistri Ken Dedes, tumbang bersimbah darah di tangan Kebo Ijo, seorang pengawalnya yang diiming-imingi menjadi raja Tumapel, pengganti Tunggul Ametung. Namun nahas, ternyata, jangankan menjadi Raja, Kebo Ijo kemudian dihakimi massa hingga tewas, karena telah salah melakukan pembunuhan tak heroik, yakni saat Tunggul Ametung sedang dalam keadaan tidak sadar lantaran mabuk. Majulah Arok, sang otak kudeta, menjadi sang pahlawan”. Demikian cuplikan roman “Arok-Dedes” karangan Pramoedya Ananta Toer.
Kisah ini lebih dari sekedar sebuah roman politik yang terjadi pada abad 13 silam. Ia diyakini sebagai warisan politik Jawa untuk Indonesia. Kudeta berdarah, yang para pelakunya terlindung oleh tangan-tangan eksekutor yang telah secara cerdas dimanfaatkan untuk maju melakukan perlawanan kasat mata. Di mana di belakang semua kejadian itu, aktor intelektualnya bertepuk dada dan mengambil alih kekuasaan dengan sangat lembut dan terlihat terhormat.
Di balik kudeta berdarah yang diotaki oleh Ken Arok, ada kisah lain yang bisa dipelajari oleh para politisi zaman ini. Bukan pada persoalan kudeta dan cara-cara yang ditempuh untuk mengkudeta, namun cara Arok mencari simpati publik dalam memuluskan langkahnya menjadi raja Tanah Jawa yang didukung oleh mayoritas publik, mulai dari rakyat biasa, kesatria (baca tentara), serta para intelektual kaum Brahmana. Tanpa dukungan semua stakeholder tersebut, hampir mustahil Arok bisa merebut kekuasan Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung.
Gerakan Arok dimulai dengan menggalang kekuatan rakyat miskin dan terlantar dengan menyerahkan barang jarahan kepada mereka, yang merupakan hasil ‘sitaan’ atas rampasan pajak Akuwu Tumapel yang ‘dirampok’ dari rakyat Tumapel sendiri. Arok yang terbiasa hidup di jalanan berhasil mengumpulkan banyak pasukan di bawah kekuasaannya. Ia juga belajar ilmu-ilmu kenegaraan dan kanuragan, semacam filsafat dan tasawuf kepada intelektual Brahmana kala itu, Lohgawe. Oleh Lohgawe inilah kemudian Arok diperkenalkan kepada Dedes yang juga pada saat yang sama, memendam kebencian tiada tara kepada Tunggul Ametung, seorang Satria dan penguasa yang memperistrinya dengan cara paksa.
Arok yang telah memiliki kemampuan luar biasa dalam segala bidang, bahkan secara intelektual lebih hebat dari sebagian besar kaum Brahmana, menarik simpatik Dedes yang kemudian berdasarkan siasat yang telah disepakati, merekomendasi Arok menjadi pengawal khusus Tunggul Ametung. Meskipun Tunggul Ametung tahu Dedes membencinya, namun hampir tidak ada satupun permintaan Dedes yang mampu ditolaknya. Tujuan menjadikan Arok pengawal khusus tentu bukan untuk mengawal Tunggul Ametung, tetapi menjatuhkannya dari dalam.
Simpati Publik
Dalam politik demokrasi yang mengandalkan suara terbanyak, patutlah kita belajar pada cara Arok memperlakukan rakyat. Ia dengan sangat jelas dan terus menerus menampakkan keberpihakan luar biasa kepada rakyat banyak, khususnya kepada mereka yang miskin dan terlantar. Apa yang ia lakukan telah secara langsung menarik simpati rakyat kepadanya. Mereka Menginginkan dirinya menjadi pemimpin dan berusaha sekuat tenaga mendukung perjuangannya dalam menumbangkan Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, yang lalim dan otoriter. Kekuasaan yang diambil alih oleh Arok langgeng dalam waktu yang panjang, dan menurunkan keturunan yang kuat dan menjadi raja-raja tanah Jawa dan Sumatera jauh setelah mengkatnya Arok.
Pemilih-pemilih kita yang masih tradisional masih sangat besar kemungkinannya di-drive dalam menentukan pilihan mereka. Namun, jika mereka telah tertambat hatinya pada calon pemimpin yang akan mereka pilih, dipastikan mereka akan setia dan berpegang teguh pada pilihan dan prisnsipnya. Bukti telah banyak memperlihatkan kepada kita betapa pemilih yang sudah dikuasai hatinya tidak mampu lagi digiring sedemikian rupa untuk memaksakan pilihan-pilihan mereka. Kasus Jokowi di Jakarta, sedikit di antara kasus-kasus lain menunjukkan bahwa tesis ini ada benarnya.
Nah, di Jambi, apa yang sedang terjadi? Tahun 2012 dan tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa rakyatlah yang memang memiliki kuasa atas legitimasi seseorang untuk memimpin, mulai dari Gubernur sampai pada Bupati/Walikota. Hanya saja, pada beberapa bagian tertentu, kuasa rakyat yang kita namakan demokrasi dalam menentukan pilihan tidaklah berjalan sempurna. Meskipun sulit dibuktikan, politik uang; mobilisasi PNS; dan bahkan sampai pada bentuk ancaman kepada pemilih telah merusak kesempurnaan demokrasi di Jambi. Salah satu penyebabnya menurut Maurice Duverger, Sosiolog Politik dari Prancis, adalah bahwa Secara Praktis, tidaklah mungkin untuk melaksanakan suatu sistem demokrasi di negara-negara yang rakyatnya kurang makan, miskin pendidikan dan buta huruf.
Jikas Tesis Duverger ini benar dan sangkaan buruk atas demokrasi di Jambi juga benar, maka kita perlu melihat lebih jauh kesejahteraan masyarakat kita. Mi instan, satu bungkus rokok, ongkos ojek, dan sejenisnya mampu melenakan mereka untuk menjatuhkan pilihan pada calon yang melakukan suap.
Barangkali ada benarnya sindiran Kotler, ahli manajemen pemasaran sebagaimana dikutip Adman Nursal dalam bukunya Political Marketing, yang menggambarkan pemilih sebagai berikut: Saya tak tahu siapa Anda; saya tak tahu partai Anda; saya tak tahu produk partai Anda; saya tak tahu berpihak kepada siapa Anda; saya tidak tahu siapa pendukung Anda; saya tidak tahu track record Anda; saya juga tidak tahu reputasi Anda; sekarang yang ingin saya tahu: apa yang Anda tawarkan kepada Saya! Dalam pendekatan marketing politik, pemilih mestinya didekatkan sedekat-dekatnya dengan pada siapa yang akan mereka pilih. Hanya saja sebagian kontestan politik Jambi memaknai ‘apa yang Anda tawarkan kepada saya’ dengan menukarkan idelisme pemilih yang masih tradisional dengan kepentingan sesaat, seperti uang, sekantong beras, dan sejenisnya.
Meskipun ada benarnya, tesis Duverger ini adalah satu penjelasan yang paradoksal jika ditinjau dari cerita Arok. Bagaimana mungkin Dia memperoleh simpati di tengah-tengah masyarakat miskin? Jawabannya adalah karena Arok telah mampu meyakinkan rakyatnya, bahwa dia lah calon pemimpin yang tepat. Lalu, kenapa di tempat kita tidak bisa? itu berarti bahwa rakyat belum terlalu yakin dengan calon-calon pemimpin yang kita ajukan. Pilihan sesaat atas uang dan sejenisnya boleh jadi merupakan refleksi dari rasa prustasi yang menghinggapi pikiran mereka, akibat tidak ada satupun calon yang membuat hati mereka luluh untuk menjatuhkan pilihan.
Tahun 2012 tidak banyak meninggalkan kisah politik di bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, kecuali kisah-kisah kecil persiapan Pemilu kepala Daerah (Pemilukada) Kota Jambi, Merangin, dan Kerinci. Tahun depan, 2013, akan menjadi tahun yang akan menjadi bukti sejarah kisah besar di Jambi, terutama di Kota Jambi, jantungnya Provinsi Jambi. Sindrom Jakarta, Jokowi – Ahok, telah menjalar jauh, sampai ke pelosok-pelosok negeri. Selain atribut ‘kotak-kotak’ yang menjadi brand image mereka, cara-cara mendekati rakyat juga telah mulai dipraktikkan calon-calon pemimpin kita. Turun ke pasar; meninjau drainase yang tersumbat; mengunjungi daerah bencana; dan kegiatan sejenis lainnya untuk menarik simpati publik.