Karena terus mendesak dan panik, katanya lagi, saat itu datang lah seorang petugas medis. “Akhirnya ada dokter pakai baju bebas, tak tahu itu siapa. Tapi saat itu kondisinya (korban, red) sudah sekarat. Dan datangnya itu lantaran ada desakan dari keluarga korban,” tegasnya.
Dikatakannya juga, meski kondisi darah korban saat itu sedang tinggi, hingga 150, namun petugas perawatan nekat memberikan suntikan kepada korban. Yang dinilainya, seharusnya tak dilakukan saat darahnya masih sangat tinggi. “Sekitar 4 kali disuntik. Di kaki dua kali,” jelasnya.
Saat di UGD, Andri menjelaskan, jika dirinya sudah diberi tahu jika kondisi bayi yang ada di rahim korban (angga, red) sudah tak akan bisa diselamatkan. Pasalnya, kata Andri, dari hasil pemeriksaan, disampaikan, jika kondisi jantung bayi itu lemah. “Di UGD sempat dikatakan, katanya kondisi bayi ini jantungnya lemah dan mau di USG dulu. Namun yang kita sayangkan, kalau dibilang tak ada lagi bayi itu harusnya mereka (pihak rumah sakit, red) ambil tindakan,” ujarnya.
Ironisnya lagi, ibu bayi tersebut, juga menjadi korban akibat kelalaian dan lambatnya tindakan yang diambil oleh pihak rumah sakit yang sudah berkali-kali dikeluhkan.
“Janji saat itu, kalau bayinya sudah tak ada lagi, ya selamatkan ibunya. Namun nyatanya, tak ada sama sekali tindakan,” katanya dengan mata yang memerah.
“Seandainya ada tindakan, karena jelas saat jam 7 malam, kami masuk HGU Kebidanan itu, mereka pasti tahu bayi itu sudah tak ada. Harusnya mereka ambil tindakan. Seandainya dari jarak jam 7 sampai jam 10 malam itu mereka ambil tindakan, pasti tak akan begini,” katanya sedih mengenang kejadian itu.
Sayangnya, jelas Andri dengan nada agak parau, saat sudah masuk ke ruang HGU, tak ada sesuatu apapun yang diperbuat oleh pihak rumah sakit.
“Tak ada perkembangan apa-apa yang diberitahukan. Dia (korban, red) hanya diinvus dan diberi oksigen saja. Namun ditelantarkan tak ada tindakan medis. Dokter juga tak ada. Padahal dia bilang mau menyeleamatkan ibunya tadi,” keluhnya.
Sementara itu, Annisa, kaka dari Andri yang merupakan kaka ipar korban, dalam kesempatan yang sama juga terlihat emosi mengenang tindakan dari rumah sakit. “Kami dilempar kesana-kemari. Kami harus cari ruangan sendiri. Padahal mereka yang harusnya tahu ruangan kosong dimana,” ungkapnya.
Saat itu, katanya, pihak keluarga disarankan ke bagian informasi untuk mempertanyakan dimana ada ruangan perawatan yang kosong. “Di bagian informasi menelpon ke bagian kebidanan. Namun di bagian kebidananan telepon itu tak diangkat-angkat,” ujarnya.
Selain itu, kejadian lain yang disesalkan, katanya, pihak rumah sakit menyuruh agar periksa darah. Akan tetapi, darah yang sudah diambil dari korban, harus dibawa sendiri oleh anggota keluarga menuju labor rumah sakit.
“Kami kan tak tahu. Kami diopers kesana kesini. Kami disuruh cari labor sendiri,” keluhnya dengan nada kesal.
Yang lebih menyesakkan, kata Annisa, tindakan yang dilakukan saat di HGU itu, saat korban kondisinya sudah sangat menyedihkan. “Saat itu kami malah dikasih tahu, jika besok (kemarin, red) dokternya baru mau datang. Kan tidak jelas itu. Kondisi orang (korban, red) sudah biru-biru semua,” keluhnya.
Bahkan, saat membawa jenazah korban, pihak keluarga dibebankan biaya senilai Rp 1.240.000.
“Awalnya ada Jampersal, hanya saja kata perawat disana kartu jampersal itu tak bisa digunakan. Padahal Jampersal itu bisa digunakan. Saat itu perawat nanya, rujukan dari mana. Kami sebutkan, rujukan dari Bidan Ariyani, tapi tetap tak bisa. Mau tak mau dibayarkan,” tukasnya.
Sementara itu, dr Herlambang, yang disebut menangani pasien ini berhasil dikonfirmasi terkait kejadian itu. Sayangnya, dalam kesempatan itu, dirinya tak memberikan banyak komentar.