Oleh : Dwi Suryahartati, SH,M.Kn *
KEBUTUHAN masyarakat akan kepastian hukum menjadi sebuah keniscayaan. Kepastian hukum dalam hal mengakomodir keinginan-para pihak dapat diaktualisasikan dalam sebuah produk hukum yang dihasilkan oleh seorang pejabat public yang berbentuk akta otentik. Pejabat publik yang dimaksudkan oleh hukum adalah Notaris dan/atau PPAT. Notaris dan PPAT adalah sebuah jabatan dan/atau profesi hukum yang secara yuridis formil berbeda. Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan. PPAT yang merupakan singkatan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Dengan demikian,tugas dan wewenang antara Notaris dan PPAT memiliki perbedaan. Dalam menjalankan profesi dan/atau jabatannya, Notaris dan PPAT tidak dapat keluar dari frame hukum sebagai pedoman menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing. Notaris mempedomani Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan PPAT mempedomani PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT dan Peraturan Kepala BPN No. 1 tahun 2006 tentang ketentuan pelaksanaan PP No. 37 tahun 1998.
Secara awam masyarakat belum bisa membedakan dua jabatan tersebut di atas, hal itu sebenarnya menjadi wajar karena memang dalam UUJN di Pasal 15 (f) Notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Sehingga dalam praktek memang sulit masyarakat membedakan antara PPAT dengan Notaris, disebabkan karena Notaris juga dapat membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan.
Keberadaan Notaris dalam suatu wilayah ditentukan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM dengan kuota tertentu . Ketergantungan masyarakat akan Notaris sangat tinggi, hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kekuatan terselubung bagi Notaris “Nakal” yang ingin mempermainkan hukum dan mengangkangi keluhuran dan martabat Jabatan Notaris.
Sepengamatan saya banyak terjadi kasus-kasus yang melibatkan Notaris dengan akta yang dibuatnya. Dan sangat berpotensi untuk dipanggilnya Notaris atau diperiksanya akta yang dibuat. Di sisi lain, masyarakat tidak mempunyai kekuatan untuk melawan secara hukum atas produk hukum berupa akta otentik yang dibuat Notaris karena Notaris tidak dapat diperiksa oleh aparat hukum. Walaupun secara empiris jelas akta yang dibuat oleh Notaris “Nakal” itu merugikan pihak-pihak yang bersangkutan dengan akta tersebut. Disini aparat hukum bagai “singa ompong” berhadapan dengan Notaris. Notaris tidak dapat dipanggil dan diperiksa secara hukum tanpa persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD).
Wewenang MPD yang “seksi”
Hal ini dapat terjadi karena memang UUJN memberi kekuatan dan kekebalan bagi Notaris yang secara tersurat dinyatakan dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN yang berbunyi : “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : a. mengambil foto copy minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Akibat kekebalan yang ada dalam Pasal tersebut membuat Notaris “nakal “ merasa di atas angin karena akan selalu berada dalam peerlindungan MPD. Apa dan Siapa MPD itu ? hingga begitu “Anggun” posisinya bagi Notaris sebagai tempat berlindung. MPD belum streril dalam hal menegakkan keluhuran jabatan dan/atau profesi Notaris. MPD adalah sebuah Majelis Pengawas Notaris pada tingkatan pertama yang dibentuk oleh Menteri sebagai perpanjangan tangan untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris baik meliputi perilaku Notaris maupun pelaksanaan jabatan Notaris. Sehingga sangat erat hubungannya dengan Notaris yang ada di sebuah Daerah. Majelis pengawas Notaris terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi Notaris dan Ahli/Akademisi. Majelis Pengawas terdiri dari Majelis Pengawas Pusat, Wilayah dan Daerah. Dengan unsur yang ada dalam Majelis tersebut masih dimungkinkan adanya posisi tawar intern bagi sengketa-sengketa yang diakibatkan oleh akta yang dibuat notaris, dan ini tidak bisa dilawan. Kondisi ini menjadikan masa “EMAS” bagi Notaris Nakal untuk mencapai kejayaannya.
MPD Pasca Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PPU-X/2013 tanggal 28 Mei 2013 mengabulkan permohonan Kant Kemal untuk menyatakan bahwa frasa dengan persetujuan MPD bertentangan dengan konstitusi merupakan serangan maut bagi “Notaris nakal” yang berlindung di gelung Majelis Pengawas Daerah (MPD). Masyarakat yang merasa dirugikan atas akta otentik yang dibuat Notaris, demi penegakan hukum dapat bernafas lega. Aparat sudah tidak kesulitan lagi untuk memeriksa Notaris, karena aparat dapat memanggil Notaris langsung tanpa persetujuan MPD. Pasal inilah yang menjadi biang keladinya dan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia khususnya bidang Kenotariatan dan pada akhirnya MK menyatakan Pasal 66 UUJN ayat (1) bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 yang pada pokoknya berisi segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Serta bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan adanya putusan ini diharapkan peran MPDpun menjadi lebih optimal untuk mengawal tugas dan wewenang Notaris dengan berlandaskan pada kode etik jabatan Notaris. Jika ini dapat terlaksana dengan baik , maka keluhuran dan martabat Notaris dapat terwujud dan masa “KEEMASAN NOTARIS” yang sesungguhnya menjadi kenyataan dan sebuah keharusan yang PASTI. Selamat untuk para Notaris yang luhur dan bermartabat !
*Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Jambi