Ekonomi Syariah, Masyarakat Melayu dan Pembangunan Ekonomi Jambi

Kamis 19-09-2013,00:00 WIB
Oleh:

(Surat terbuka untuk Gubernur Jambi dan Peserta Sidang Pleno ISEI 2013)

Oleh : Suwardi., SE. Sy

Ada tiga indikator kondisi ekonomi rakyat yang biasa digunakan yakni kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan sosial. Hingga saat ini angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan penduduk masih sangat tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) Jambi  mencatat jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Jambi pada bulan Maret 2012 sebesar 271,67 ribu jiwa (8,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2011 yang berjumlah 272,67 ribu jiwa (8,65 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar seribu jiwa.

Meski ada kecenderungan jumlah penduduk miskin menurun. Namun, garis Kemiskinan menunjukkan tren yang cenderung meningkat akibat pengaruh  peningkatan nilai pengeluaran penduduk. Garis Kemiskinan Maret 2011 sebesar Rp. 242.272/kapita/bulan meningkat menjadi Rp. 259.257/kapita/bulan pada Maret 2012. Peranan konsumsi kebutuhan dasar makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan konsumsi kebutuhan dasar bukan makanan. Pada bulan Maret 2012, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) terhadap Garis Kemiskinan (GK) di Jambi sebesar 77,43 persen. Pada periode yang sama (baca: Maret 2012) Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan meningkat dibandingkan dengan periode Maret 2011. Hal ini memberikan indikasi bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin menjauhi garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin melebar. Tidak salah jika Provinsi Jambi, telah ditargetkan oleh pemerintah pusat agar dapat menurunkan angka kemiskinan dari 7,9% pada tahun 2011 menjadi 5% pada tahun 2015.

Kemiskinan dan pengangguran adalah dua masalah yang tidak terpisahkan. Namun, masalah pengangguran tentu tidak hanya pada jumlah. Data jumlah orang menganggur pun bisa misleading (menyesatkan) karena definisi orang bekerja yang digunakan BPS sangat longgar, yakni hanya cukup bekerja  1 (satu) jam sehari dalam kurun satu minggu terakhir.

Dengan definisi tersebut, yang dianggap bekerja, sebagian besar (69.5%) ternyata berada di sektor informal. Untuk pekerja profesional dengan pendidikan dan ketrampilan yang tinggi mungkin waktu kerja satu jam bukan masalah karena pendapatannya dapat memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi karena sebagian besar pekerja berpendidikan rendah, maka orang yang dikategorikan bekerja belum tentu memiliki penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.

 Sehingga agenda pengentasan kemiskinan bukan persoalan bagaimana mengalokasikan anggaran namun memfasilitasi mereka untuk mampu terus menjalankan sektor-sektor usaha mikro. Berdasarkan pengalaman empiris membuktikan bahwa sektor mikro merupakan sektor usaha yang dominan di Indonesia dan berdasarkan data kementrian Koperasi dan UKM jumlahnya mencapai 99% dari pelaku usaha di Indonesia.

Dalam konteks pembangunan ekonomi Jambi, dengan argumentasi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan harus dilakukan dengan pendekatan pembangunan kewilayahan/Kedaerahan. Yang sudah pasti meliputi, objek dan subjek pembangunan itu sendiri. Yakni, masyarakat dan potensi daerah yang mampu dijadikan nilai ekonomi dan penguatan ekonomi masyarakat Jambi menuju kemajuan pembangunan ekonomi.

 

Masyarakat Jambi (Melayu)  dan Religiusitas Keuangan

Kepulauan Melayu merupakan gerbang masuk terdepan bagi pelayaran ke timur. Karenanya tidak heran jika kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Samudra Pasai (1270-1514 M) dan Malaka (1400-1511 M) muncul di sini. Kerajaan-kerajaan ini tumbuh dari pelabuhan atau bandar dagang, dan menjadi kerajaan Islam setelah rajanya memeluk agama Islam.

Karena itu, menurut al-Attas (1972), datangnya Islam menyebabkan kebangkitan rasional dan intelektual yang bercorak religius di Nusantara yang tidak pernah dialami sebelumnya. Kecuali itu Islam juga mendorong terjadinya perubahan besar dalam jiwa bangsa Melayu dan kebudayaannya.

Hadirnya Islam membuka lembaran baru dan menyebabkan terjadinya proses perubahan sosial, ekonomi dan politik yang sangat mendasar (Kern 1917; Schrieke 1955). Dengan demikian jelas bahwa nilai dan norma Islam secara ideal telah dijadikan oleh masyarakat-masyarakat Melayu sebagai inti (nuclear) kebudayaan mereka dan filosofi bagi mereka, yang sub-kulturnya meliputi masyarakat Jambi, Nangroe Aceh Darussalam, Melayu di Sumatera Utara, Minangkabau, Palembang, Riau, Bugis, Betawi, Melayu di negara tetangga Malaysia, Patani Thailand, Brunai Darussalam.

Oleh karenanya Jambi, sebagai salah satu komponen masyarakat Melayu yang telah dibangun berdasarkan kepada tuaian sejarah masa lampau. Juga merupakan bagian dari aktivitas sejarah peradaban masyarakat yang juga turut serta dalam pelaksanaan sistem dan transaksi ekonomi, keuangan dan perdagangan yang dilandasi dengan nilai-nilai dan norma Islam. Kesesuaian dalam wujud aktivitas ekonomi yang dibalut dengan penerapan atas nilai, moral dan etika Islam merupakan wujud dari aktivitas budaya masa lalu yang menjadi sejarah.

Selain itu, secara geografis, penduduk Jambi dengan mayoritas muslim dan juga sudah barang tentu merupakan bagian dari masyarakat  Melayu dan telah turut serta berperan dalam pembangunan ekonomi dengan aktivitas sektor informal, merupakan kesepakan alamiah antara masyarakat Jambi sebagai subjek ekonomi dan kondisi alam dan letak geografis Jambi sendiri.

Tags :
Kategori :

Terkait