Akan tetapi, aktivitas ekonomi Masyarakat Jambi yang berpusat pada sektor informal masih dalam kesulitan liquiditas permodalan dalam menjalan usahanya. Fakta data pemerintah (skala nasional) pun menunjukkan bahwa sebagian besar UMKM masih menggunakan modal sendiri (70%). Hanya sebagian kecil yang telah menggunakan pinjaman baik yang bersumber dari perorangan, perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya. Hal ini bisa dipahami karena akses UMKM terhadap kredit perbankan memang masih sangat rendah sehingga alokasi kredit perbankan untuk sektor UMKM masih kurang dari 50% terhadap total kredit nasional. Selain itu nilai pinjaman juga relatif kecil, rata-rata maksimal sebesar Rp. 15 juta s/d Rp. 25 juta / usaha.
Meski permodalan yang tidak terlalu banyak untuk aktivitas keuangan dan bisnis informal oleh masyarakat Jambi. Tetap saja, kesulitan ekonomi dan permodalan menjadi kendala yang utama. Selain itu, ditambah dengan kondisi ekonomi secara global yang tidak stabil, mengakibatkan suku bunga pinjaman menjadi membengkak, ketidakstabilan suku bunga pasar yang menciptakan ketidakmapanan bangunan sektor permodalan.
Atas dasar itulah dibutuhkan keseriusan dan solusi dari pemerintah untuk mengantisipasi tingginya suku bunga pasar pinjaman akibat ketidakstabilan nilai rupiah, kondisi ekonomi global dan juga mengantisipasi keterpurukan sektor informal dalam menjalankan usaha meski dalam skala UMKM.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah sistem dan manajemen keuangan yang sejalan dengan jiwa masyarakat Melayu yang religius (memiliki nilai, norma, dan moral) yang telah menjadi budaya masyarakat Melayu dalam aktivitas dan pergaulan perdagangan, ekonomi dan bisnis.
Syariah Solusi Pembangunan Ekonomi Jambi
Dalam konteks demikian, sangat jelas bahwa penguatan ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah memerlukan perubahan strategi dan kebijakan ekonomi di berbagai bidang. Tidak hanya pengembangan kewirausahaan dan pembangunan ekonomi sektor riil, juga kebijakan pemerintah daerah dalam hal regulasi dan permodalan yang lebih berpihak pada masyarakat Jambi, tetapi juga dukungan kebijakan di berbagai bidang antara lain, memberikan solusi pilihan terhadap sistem ekonomi, keuangan, dan mekanisme penyaluran permodalan sebagai bagian dari penguatan ekonomi berbasis wilayah dari sistem konvensional berbasis bunga kepada ekonomi dan keuangan berbasis syariah (bagi hasil).
Namun demikian, perubahan strategi dan kebijakan tersebut hanya bisa dilakukan apabila dilakukan perubahan paradigma ekonomi. Saat ini pengelolaan ekonomi cenderung menggunakan paradigma liberal kapitalistik dan jauh dari sistem ekonomi berkeadilan, sehingga harus segera ditinggalkan dan ganti dengan paradigma kebijakan ekonomi yang Islami.
Kemudian, segera melakukan dua pekerjaan besar. Pertama, merancang strategi untuk menyusun model pengembangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Jambi (Melayu) berbasis wilayah, baik dengan pelatihan, peningkatan akses, mengembangkan jaringan para pengusaha di sektor informal. Kedua, melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan dan PERDA yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Karena, saat ini masih sangat banyak undang-undang maupun peraturan daerah yang bersifat kapitalistik dan merugikan masyarakat, sehingga akan menghambat upaya pemberdayaan dan pengembangan ekonomi masyarakat Jambi (melayu). Dan sistem ekonomi yang harus dikembangkan adalah Ekonomi Syariah.
Kenapa Harus Ekonomi Syariah ?
Selama ini terjadi (krisis keuangan) adalah akibat dari krisis kualitas lembaga keuangan yang dipengaruhi oleh penerapan suku bunga sebagai sistem ribawi yang ternyata gagal berfungsi sebagai alat indirect screening mechanism. Bahkan disinyalir berpotensi menjadi economic trouble maker yang melahirkan tiga macam krisis, yaitu krisis keuangan dan moneter (financial crisis), yang semuanya itu berpengaruh negatif pada kehidupan sektor riil.
Sebagai salah satu kritik Islam terhadap praktik lembaga keuangan konvensional adalah dilanggarnya prinsip al kharaj bi al dhaman (hasil usaha muncul bersama biaya) dan prinsip al ghunmu bi al ghurmi (untung muncul bersama risiko). Keuangan konvensional memberikan pinjaman dengan mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (fixed and predetermined rate). Sedangkan pendapatan keuntungan yang tidak fixed and predetermined .
Sebagai wujud prinsipnya, keuangan konvensional menuntut mendapatkan untung yang fixed and predetermined tetapi menolak risikonya (al ghunmu bi laa ghurmi/againing return without being responsible for any risk). Keuangan konvensional mengharapkan hasil usaha, tetapi tidak bersedia menanggung biayanya (al kharaj bi laa dhaman / gaining income without being responsible for any expenses). Padahal prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip dasar dalam teori keuangan, yakni prinsip bahwa return selalu beriringan dengan resiko (return goes along with risk).
Selain itu, filosofi masyarakat Melayu yang memiliki nilai, norma dan etika dalam pergaulan ekonomi dan bisnis. Hal ini sangat selaras dengan sistem ekonomi Syariah. Sebagai contoh, tradisi masyarakat pedesaan di Jambi, yang masih menggunakan sistem bagi hasil dari pengelolaan hasil kebun ada yang menyebut dengan parohan (1/3 pemilik dan 2/3 pengelola dsb) itu semua merupakan wujud dari sistem Musyarakah dan atau Mudharbah dalam aktualisasi Bisnis Syariah.